Sabtu, 08 Mei 2010

Petualangan Di Negeri Terindah..

...s'moga judulnya sesuai..atau disesuaikan..:D

Ini mengenai perjalananku. Menuju Ibu kota tercinta. Orang bilang disana ramai, orang bilang disana adalah hutan belantara, orang bilang disana semua bisa terjadi, yang kaya bisa jadi miskin, bahkan yang miskin bisa jadi tambah miskin. Jakarta. Yang jelas kota itu menyimpan banyak cerita. Ingin rasanya aku membuktikan semuanya di kota itu, kota metropolitan yang menjadi sarang para koruptor. Tapi aku tak begitu peduli kata orang, yang ingin kulakukan adalah mengunjungi tempat-tempat bersejarah di negeriku.

Sampai akhirnya, tiba saat yang telah kurencanakan. Pukul 23.30 wib, aku seorang diri, melangkah menaiki sebuah kereta api kelas ekonomi, menembus malam yang lumayan dingin. Selama tak lebih dari lima jam, melalui lebih dari lima stasiun kereta api, mulai dari Kiaracondong hingga Jakarta Kota.

“Bangun Mba!” seru seorang anak kecil membangunkanku dari tidur yang tak begitu nyenyak.

“Nanti kebawa ke Daop!” lanjut anak berbaju kumal itu padaku yang masih mencoba menyesuaikan pandanganku ke sekelilingku yang sepi.

“Iyah!” sahutku menyadari bahwa semua penumpang kereta sudah turun di stasiun pemberhentian terakhir ini.

“Makasih ya!” ucapku pada bocah lelaki yang kini sedang sibuk memunguti sampah botol plastik yang banyak tercecer di kolong-kolong bangku kereta.

“Iya, sama-sama!” sahut bocah itu dengan logat Jakarta nya.

Ini pukul 04.00 wib, jantungku berdetak kencang, saat kakiku mulai melangkah memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota. Sejenak tadi aku merasa senang dan gugup, karena ini adalah kali pertamaku melakukan perjalanan ke Jakarta seorang diri. Aku pun kembali teringat berbagai kata orang yang membuatku penasaran, tapi sepertinya ada beberapa kata orang yang tak begitu benar bagiku. Setidaknya aku mengingat bahwa masih ada anak kecil, yang tadi membangunkanku, menurutku itu luar biasa.

Suara adzan berbunyi. Dari bangku peron, aku melangkah menuju mushola, membersihkan diri, dan berdoa sejenak memohon keselamatan dari-Nya. Sebelum aku melanjutkan perjalananku berkeliling kota Jakarta, membuktikan berbagai kata orang, dan melihat hal unik yang mungkin akan kutemui di ibu kota.

“Museum di sebelah mana?” tanyaku pada petugas peron.

“Terus lurus ke depan! Tapi, belum buka jam segini!” jawab pria berseragam biru dongker itu.

“Iya, makasih!” sahutku pendek.

Goes to Monumen Nasional

Aku segera keluar dari area stasiun yang lumayan ramai itu. Tujuanku yang pertama memang museum, tapi sepagi ini memang belum buka. Jadi kuputuskan saja menuju Monas, saat kulihat sebuah halte busway yang jaraknya hanya beberapa meter dari stasiun. Dengan uang dua ribu lima ratus rupiah, aku bisa sampai di Monas dengan menggunakan bus Transjakarta yang pagi itu masih sepi.

Mengingat saat itu adalah hari minggu, halaman Monas sangat ramai oleh orang yang berlari pagi. Hmmm..., Monumen Nasional, apa yang kuingat mengenai monumen kebangggaan Indonesia itu yah?

Tapi yang aku ingat pasti, monumen ini dibangun oleh Ir.Soekarno, dan ada sebongkah emas di ujung menara itu. Kta orang, kalau kita ke Jakarta, rasanya kurang afdol kalau kita tidak pergi ke Monas. Ya..., kali ini aku setuju dengan kata orang itu.

Dengan ransel hijauku, aku berkeliling area Monas yang ramai. Kata seorang pedagang air mineral, setiap minggu tempat ini selalu ramai oleh para muda-mudi, keluarga, dan para pedagang yang menjajakan dagangannya untuk menemani pengunjung berolahraga, atau yang hanya sekedar cuci mata saja.

Menapaki Sejarah di Kota Tua

Setelah matahari mulai terik, aku segera teringat kembali pada museum yang kemungkinan sudah buka. Akupun kembali menaiki busway, melalui halte harmoni, glodok, sawah besar, dan beberapa halte busway lainnya yang dengan teratur menaik turunkan penumpangnya.
Tak begitu lama untukku sampai di Museum, tapi kali ini aku harus membayar tiga ribu lima ratus sebagai pengganti tiket bus Transjakarta, mengingat hari mulai siang. Setibanya di halte Stasiun Kota, aku segera berjalan menuju Kota Tua, tempat Museum Sejarah Jakarta berada.
Selain untuk membuktikan kata orang, salah satu ketertarikanku mendatangi Jakarta adalah sejarah. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keunikan dalam hal sejarah, dan salah satunya berada di Jakarta. Sepertihalnya di kota-kota besar lainnya, sepertihalnya di Semarang, atau Bandung, Jakarta memiliki Kota Tua yang dahulu menjadi pusat kemasyarakatan.
Kota Tua di Jakarta yang dahulu bernama Batavia ini memiliki beberapa gedung dan museum yang cukup memukau mataku. Mulai dari Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), Museum Keramik, Museum Wayang, Gedung Dasaad Musin Concern, Gedung Pos, Kafe-kafe, Pelabuhan, dll. Melihat keunikan arsitektur dan panorama Kota Tua, tak aneh jika beberapa sudut tempat itu dijadikan sebagai tempat pemotretan dan pengambilan gambar sebuah shooting.
Tapi sayang, di Kota Tua ada Dasaad Musin Concern, sebuah gedung milik konglomerat Agus Dasaad yang keadaannya sudah tidak terawat, mungkin karena status gedung itu yang tak dimasukkan dalam cagar budaya. Padahal kalau dilihat-lihat, gedung berlantai tiga itu sangat berpotensi jika diperbaiki dan difungsikan lebih baik daripada sekedar menjadi tempat biliard dan sarang penyamun.
Pasar Kota Tua Museum Sejarah Jakarta (Ms. Fatahillah)
Gedung Dasaad Musin Concern Wisata sepeda onthel di Kota Tua
Mengintip Rusa di Kebun Raya

Siang sudah mulai tiba, saat itu jam di dinding stasiun sudah menunjukkan pukul 11.30 wib. Rasanya cukup lama aku berkeliling Kota Tua. Aku pikir aku akan kembali lagi ke Bandung, tapi beberapa detik kemudian aku mengurungkan niatku saat kudengar mengenai keberangkatan kereta rel listrik (KRL) Jakarta-Bogor yang hendak berangkat. Meski diluar rencana, tapi akhirnya kuputuskan untuk membeli tiket KRL yang hanya dua ribu lima ratus rupiah. Sebuah tiket yang sangat terjangkau untuk perjalanan kelas ekonomi yang terbilang nyaman. Setelah keluar dari pusat informasi pariwisata, Kebun Raya Bogor adalah tempat tujuanku selanjutnya, tentunya setelah aku berpikir sesaat mengenai apa yang akan aku lakukan di kota hujan itu. Dari stasiun Bogor jaraknya tak begitu jauh, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki saja di kota yang pertama kali aku pijaki itu. Sayangnya, aku sore itu tak bisa masuk ke Kebun Raya, jadi terpaksalah aku hanya melihat keindahan rusa-rusa istana itu dari celah pagar. Di sekitar Kebun Raya bahkan ada yang menjual wortel, bagi pengunjung yang ingin memberi makan rusa-rusa yang berkeliaran dengan nyamannya. Tak hanya itu, karena disana kita juga dapat berkeliling kota dengan menggunakan delman dan becak.
Rusa-rusa di Kebun Raya Bogor

Back To Bandung....

Rasanya kakiku sudah mulai protes saat aku menyadari bahwa hari sudah mulai sore. Aku bergegas bangkit dari taman Kebun Raya dan berjalan kembali menuju Stasiun Bogor. Tapi, sebelum sampai di stasiun, tiba-tiba aku tertarik untuk menyusuri sebuah pasar yang cukup ramai, hanya sekedar untuk melihat-lihat dan mencoba cemilan khas Bogor sebelum aku kembali ke Bandung. Tak begitu lama, aku menunggu kereta yang hendak mengantarku pulang, tapi sayangnya dari Bogor tak ada kereta yang langsung membawaku ke Bandung, jadi terpaksa aku singgah dahulu di Sukabumi. Dari Sukabumi, aku beralih menggunakan bis antarkota yang membawaku kembali ke Bandung tepat pada pukul 23.45 wib. Benar-benar melelahkan. Mungkin itulah yang aku rasakan, tapi sayangnya kelelahanku hari itu tak dapat tergantikan oleh apapun. Karena aku mendapatkan kesenangan dan kepuasan yang jauh lebih besar. Bagiku setiap perjalananku adalah sebuah kesenangan yang bernilai tinggi, setidaknya itu adalah anugerah akan pengalaman yang dapat menjadi pelajaran bagiku... Dalam 24 jam aku berkeliling kota, melihat setiap keunikan yang dimiliki Indonesia.
Now I can say that Indonesia is a wonderful country...

[+/-] Selengkapnya...