Selasa, 27 April 2010

Aku Mengeluhkanmu... Bukan Hanya Aku...

Birokrasi... Temanku menyebutnya begitu...

Yang jelas bagiku ini hanya formalitas... dan ucapan semata yang bisa dipungkiri...

Kata Mereka ini yang dinamakan ATURAN!!!

Mungkin ini kali kesekian aku dan beberapa temanku merasa kecewa dan dikecewakan oleh sebuah peraturan. Okelah kalau ada yang bilang peraturan ada untuk dilanggar!

Aku sepertinya mulai setuju dengan istilah itu, at least itu yang seharusnya kulakukan dari dulu..!

Bukan tanpa alasan, karena aku merasa kecewa dan dikecewakan oleh sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah sistem. Aku pikir aku layak menuntut hakku atas apa yang telah kulakukan, dan aku pikir mereka layak melaksanakan kewajiban mereka atas apa yang telah kulakukan. Bukannya malah melempar tanggungjawab mengenai hal yang sebenarnya sepele ini!!!

Okelah, aku enggan mengungkit apa hak yang layak kudapatkan, mungkin aku tak begitu patut dan pantas untuk menuntut ini. Tapi sayangnya, ini bukanlah kali pertamaku merasa kecewa (bukan hanya sekedar hak dan kewajiban) karena ini sudah menyangkut konsistensi.

Aku bukan manusia sempurna, tapi aku selalu berusaha agar tetap konsisten, aku bahkan pernah lalai dengan kewajibanku, dan aku pun berusaha untuk tidak ngotot menuntut hakku... Aku bersabar dengan konsekuensi yang kudapatkan...

Aku pikir aku cukup teliti, dan dapat bertindak sportif dengan lembaga ini. Tapi, ada sebagian kecil orang dari dalam sistem ini yang selalu saja tak bertindak konsisten dengan apa yang diucapkannya (mungkin aku dapat mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia).

“Manusia itu tak luput dari kekeliruan!”

Oke!!!

Aku memahaminya, dan aku mencoba mengerti. Tapi apa jadinya kalau keluputan itu sering sekali terjadi (tak hanya sekali atau dua kali).

“Aku jadi berpikir, ini lupa atau dilupakan???”

Aku bilang begini dia bilang bukan, atau dia bilang tidak, atau dia bilang tidak begitu, dan beberapa kalimat elakan lain yang kadang membuatku terdiam dan menelan ludah sebelum akhirnya tersenyum tak percaya.

“Oh, iya gitu?” shit, itu salah satu kalimat yang pernah keluar dari bibir manisnya...

“Hello!!! Kamana wae atuh???” Jangan-jangan orang ini selalu kehilangan nyawanya saat mengucapkan suatu kalimat, jadi pas dikonfirmasi lagi dia tak akan pernah ingat dengan apa yang diucapkannya.

“Ada ya orang kayak gini, dan parahnya dilestarikan pula!”

“Lupa memang kadang menjadi alasan jitu seseorang untuk berlindung dari kewajiban dan tanggung jawabnya!”

Yaa... gimana lagi kalau orang udah berkata “LUPA”... I can’t do anything...

Sebenarnya aku hanya ingin satu hal dari bagian kecil sistem ini. Cobalah untuk konsisten dengan apa yang diucapkan, cobalah untuk bertanggungjawab dengan apa yang diucapkan... apa aku harus menyediakan alat perekam setiap kali aku berbicara padamu? Apa harus selalu ada saksi jika berbicara dengan orang ini.. Pasalnya bukan hanya aku yang merasa bahwa kau adalah makhluk yang tak konsisten dengan ucapanmu... BUKAN HANYA AKU...!!!

Dan untuk seorang yang kuhormati dan mungkin menganggapku sebagai seorang kawan, ‘Saya harap anda tidak akan pernah lagi mengambil alih kesalahan seseorang... itu mengecewakan sekali! Biarlah kesalahan itu menjadi miliknya bukannya diambil alih begitu, karna itu tak akan pernah melatih kinerjanya sebagai seorang pekerja!’.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 14 April 2010

'Kenikmatan’ Korupsi Merajalela di Negeriku

Korupsi memiliki arti pembusukan... tapi, akan lebih layak jika korupsi disebut sebagai suatu hal busuk yang penuh kenikmatan. Apakah yang menguatkan anggapan ini?

Indonesia menempati posisi cukup mentereng dalam jajaran negara terkorup. Cukup membuat kita miris dan menelan ludah untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana tidak kalau dari sebuah data Indonesia memang berada dalam posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia.

Tak heran, seperti halnya saja sekarang, rakyat di negeri ini sedang dibuat tercengang kembali dengan kasus korupsi. Korupsi, lagi-lagi korupsi...

Mengenai kasus korupsi yang memunculkan nama Gayus Tambunan ini, kalau boleh mengingat, betapa sering iklan layanan masyarakat menghimbau dan menanamkan dengan kuat bahwa ‘Orang bijak harus taat membayar pajak’, tapi apa jadinya kalau uang rakyat yang berasal dari pajak itu dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu dan menggunakannya untuk memperkaya diri mereka pribadi?

Masyarakat kecewa, mungkin begitulah sedikit gambaran akan perasaan rakyat di Indonesia. Kita menyadari bahwa masyarakat Indonesia saat ini, mayoritas masih berada dalam keadaan ekonomi menengah kebawah. Mereka tak mudah mencoba memenuhi kewajibannya dengan membayar pajak, mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan nilai (PPn), dan berbagai tetekbengek pajak yang ditetapkan dan dikeluarkan pemerintah.

Lepas dari itu, sebenarnya bibit korupsi di bumi ini mungkin sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang tak dapat lepas dari sifat tamak manusia. Merasa tak pernah cukup akan suatu hal yang dimilikinya, merasa serba kurang meski sudah diberi kekayaan lebih, atau korupsi memang suatu hal biasa yang sudah menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak kalau korupsi ini memang layak disebut sebagai rahasia umum.

Saya berani menjamin, dalam sebuah instansi perusahaan baik yang kecil ataupun yang besar, pemerintah ataupun swasta, para pelaku perusahaan itu pasti tak pernah luput dari hal yang bernama ‘korupsi’. Jika tak mempunyai buktinya, coba saja tanyakan pada hati nurani masing-masing. Dan parahnya, sebuah tindakan korupsi ini pasti dilakukan secara beramai-ramai, layaknya suatu sistem jaringan yang saling mendukung. Setiap pihak yang terlibat memiliki perannya masing-masing yang berfungsi melancarkan suatu tindakan korupsi, dan setiap pihak itu juga akan mendapatkan bagiannya masing-masing. Ibaratnya hal seperti ini adalah suatu bentuk kerjasama yang negatif. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hal yang tak diinginkan, misalnya jika ada pihak tertentu yang tidak puas dengan apa yang diterimanya, merasa kepepet, atau pihak tersebut memang masih memiliki sikap idealis yang tinggi. Maka ia akan membuka mulut, mengungkapkan tindakan-tindakan korupsi tersebut pada khalayak.

Kembali lagi pada contoh kasus Gayus Tambunan. Setelah Gayus ditangkap, maka bermunculanlah tersangka-tersangka berikutnya yang juga menerima ‘kenikmatan’ uang panas tersebut dan jelas berada dibalik kasus korupsi ini. Mulai dari petugas pajak, Jaksa, Hakim, bahkan Polisi pun ternyata ada yang terlibat dalam sistem jaringan korupsi ini. Meski akhirnya Gayus dinyatakan bebas, dan hal ini jelas menambah kecurigaan publik akan suatu kerjasama dalam tindakan korupsi yang melibatkan orang-orang penting yang enggan juga terseret dalam kubangan daftar tersangka.

Ya..., ini adalah rahasia umum. Apabila satu orang melakukan korupsi, maka untuk menutupi atau membuat tindakannya itu tetap berjalan mulus, maka mau tak mau dia harus rela berbagi ‘kenikmatan’ dengan pihak-pihak lain yang dapat menjadi ‘ancamannya’, dan begitulah seterusnya. Sebuah kerjasama yang layak mendapat acungan sepuluh jempol.

Setidaknya hal seperti ini sudah kita ketahui sejak terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto (Alm) semasa pemerintahannya. Banyak sekali pejabat yang turut terciprati ‘kenikmatan’ korupsi yang dilakukan oleh ‘Bapak Pembangunan’ ini, dan banyak sekali kesengsaraan rakyat yang dibuat oleh tindakan pemimpin orde baru yang fenomenal dengan alasan ‘sakit’nya jika hendak dilakukan pemerikasaan polisi atau sidang di pengadilan.

Meski saat ini pemeriksaan demi pemeriksaan terus dilakukan terhadap para tersangka kasus korupsi dan pencucian uang itu, tapi ujung-ujungnya mungkin kisah korupsi akan berakhir dengan hambar, dengan ending yang tak jelas, menggantung, bahkan tak ada penyelesaian yang tegas dan berarti. Karena hingga saat ini jarang sekali penyelesaian kasus korupsi yang memuaskan dapat khalayak, atau hal ini memang tak pernah menjadi konsusmi publik secara luas. Sehingga kasus-kasus besar itu menguap dengan sendirinya.

Bibit korupsi memang bertumbuh terlalu subur di negeri tercinta ini, sulit sekali menemukan keidealisan dalam diri seseorang. Mungkin boleh dibilang, selama darah manusia masih berwarnah merah dan mata manusia masih hijau dengan duit, maka ketamakan manusia akan terus bersemayam, akan terus berkembang dengan berbagai kecerdikannya yang melebihi kancil, atau loncatannya yang melebihi tupai. Sulit sekali memberantas hal ini hingga ke dasarnya, jika bukan karena kesadaran sendiri. Karena meski manusia sudah tahu bahwa korupsi adalah hal yang tak layak dilakukan dan memang tak seharusnya dilakuakan, tapi tetap saja hal itu penuh ‘kenikmatan’ yang membuat pelakunya ketagihan.

[+/-] Selengkapnya...

Help Me God...

Tuhan tolong aku... Cuma itu yang dapat kuucapkan dan kupinta dari-Nya. Aku mulai mencoba untuk realistis dan kembali berlogika untuk hal ini. Aku pikir cukup sekali saja aku terjatuh dengan memalukan, dan untuk selanjutnya jangan sampai aku terjatuh kembali karena hal yang sama, ditempat yang sama pula. Meski kakiku mulai goyah kembali, tapi please jangan biarkan aku terjatuh Tuhan. Kadang aku masih berfikir apakah ini yang terbaik dalam hidupku? Dan tak jarang pula aku masih berharap dengan indah mengenai sebuah harapan yang manis dan nyaris sempurna. Tapi, dengan cepat logikaku bergerak dan menepis harapan yang aku pikir sudah mulai kosong. Tak hanya itu, dahhulu aku masih menginginkan sebuah keajaiban dan mukjizat yang besar akan semua ini, tapi kini aku mulai realistis bahwa semuanya tak seperti apa yang kuinginkan. Tapi, kenapa hingga detik ini aku masih berkutat di kubangan ini? Meski aku menyadari akan ketakutanku yang tak bertepi, tapi kenapa aku tak mampu beranjak dari sini? Logikaku memperhitungkan bahwa aku hanya tinggal menunggu waktu yang terbaik bagiku, tapi kenapa aku tak juga bisa melihat warna lain yang dapat membawaku pergi dari kegelapan ini. Ini terlalu melelahkan, dan aku mulai merasa muak dengan semua omong kosong ini, aku pun mulai takut bahwa aku akan terjebak selamanya dalam hal ini. Apa yang kubicarakan? Ini semua mengenai perasaanku yang berlebihan terhadap makhluk ciptaan-Nya. Ya Allah..., bantu aku melupakannya... kuikhlaskan untuk pergi jika ini yang terbaik bagi kami...

[+/-] Selengkapnya...

Berpuitis

Hari ini kembali terasa menyesakkan saja. Hari ini kembali membingungkan saja. Hari ini kembali aku menguntai harapan yang sempat kuputuskan untuk kuakhiri. Namun sayang, aku tak mampu mengakhirinya, aku tak mampu bertahan untuk hal ini. Betapa lemahnya seorang aku dalam menghadapi hal seperti ini, aku malu. Kembali aku menghujat, kembali aku bertanya, dan kembali lagi aku menangis untuk hal yang belum juga kumengerti. Meski aku sering bertanya apakah kau mengerti, tapi aku sendiri sejujurnya tak mengerti, dan aku ingin mengerti. *** Cukup baikkah aku berpuitis? Entahlah, aku tak begitu dapat mengerti sebuah puisi dan sastra, meski beberapa orang mengatakan bahwa aku penganut sastra yang lumayan, tapi aku sendiri tak mengerti. Karena yang aku tau hanyalah bagaimana mengungkapkan suatu hal dengan baik, meski ukuran baik terlalu relatif bagi sebagian orang. Suatu ketika saat aku merasa hatiku sakit dan kecewa, otakku pun tiba-tiba menjadi cukup lihai merangkai kata. Pernah suatu siang aku hampir dibuat menangis oleh seorang pria (mungkin aku sudah layak menyebutmu sebagai seorang pria bukan). Ingin sekali siang itu aku mengeluarkan jurus karateku yang sempat diajarkan ayah padaku, ingin sekali aku mendobrak pintu yang menghalangiku, dan ingin sekali aku menghantamkan kepalanku di tubuh pria itu. Tapi sayang, aku tak dapat melakukannya, hatiku tak mengijinkannya. Aku hanya menghela dan menghembuskan nafasku untuk mengatur kesabaranku. Sampai akhirnya, dengan penuh ketenangan aku dapat mengucapkan sebuah kalimat puitis (I think) di hadapan pria itu, lebih tepatnya kalimat puitis yang penuh sindiran. Mungkin kata-kataku terasa lebih jauh diterima oleh hatinya daripada aku mengeluarkan tenagaku untuk menghajarnya. Benar memang sebuah pepatah yang mengatakan bahwa lidah terkadang lebih tajam dari pada pedang. Yeah... I believe it... karena banyak sekali hal besar yang terjadi karena lidah, karena ucapan, dan karena perkataan... So...keep Ur Tongue...

[+/-] Selengkapnya...