Selasa, 23 Februari 2010

Ini Jawabanku Untuk Pertanyaan Yang Akan Muncul Setelah Hari Ini

Maaf...
Cuma itu satu kata yang dapat kuungkapkan untuk orang-orang yang telah kubuat kecewa. Mungkin aku memang terlalu mengecewakan bagimu, bagi kalian, dan bagi mereka. Tapi aku tak bisa lagi membohongi diriku, aku tak bisa lagi bersikap manis seperti yang kalian inginkan. Mungkin aku terlalu egois, terlalu, menyedihkan, dan terlalu tak menghargai suatu hal. Tapi aku lebih takut jika aku terlalu munafik menghadapi diriku sendiri, aku takut aku hanya membohongi diriku, aku takut aku tak jujur pada diriku sendiri. Sampai detik ini, aku rasakan aku terlalu kotor,,, terlalu tak layak, dan banyak lagi hal terlalu yang membuatku mengambil keputusan ini. Aku ingin membuka mataku akan dunia yang kutempati ini, aku ingin lebih banyak belajar, dan mempersiapakan diriku menjadi lebih baik untuk seseorang yang telah menungguku, untuk seseorang yang akan menemaniku di akhir nafas hidupku, untuk seseorang yang kiranya akan menerima diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan mungkin kelebihanku. Aku tak ingin lagi mengecewakannya, aku tak ingin bercela dimatanya (meski aku tak bisa), aku ingin memperbaiki semuanya mulai detik ini. Untuk itu, jangan bertanya padaku mengapa, apa, kemana, dimana, bagaimana...dan segudang kalimat tanya yang enggan kujawab. Mungkin tulisan ini akan membantuku menjawab semua pertanyaan yang pasti akan muncul di hari esok, lusa, lusanya lusa,,,atau waktu-waktu setelah hari ini.

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 16 Februari 2010

Kereta Ekonomi Berlanjut...

Tut...Tut...Tut... Suara kereta api masih menderu, dan aku masih duduk dengan arah berlawanan dengan laju kereta itu...Hmmmmm,,,entah jam berapa ini??? Aku mulai nggak nyambung dengan arlojiku yang masih setia menggantung. Sesekali aku menguap dan memejamkan mata, sepertinya tidur ayamku mulai menghantui lagi. Opsss,,, selembar amplom mengagetkanku. Seorang anak kecil menyodorkan selembar amplop berukuran tak lebih dari 6x15 cm, amplop yang cukup kumal jika disebut sebagai amplop berwarna putih. Aku segera mengambil amplop yang tergeletak di lengan kiriku, ada yang menarik di balik amplop itu. Ada sebuah tulisan yang menggelitikku. Tenang, aku masih ingat beberapa kalimat yang tertulis dengan huruf sambung itu, begini bunyinya. "Ibu-ibu, bapak-bapak, kakak-kakak. Mohon sedekahnya, buat membantu saya yang putus sekolah" ... Ikhsan... What???? ku hanya mengernyitkan dahi melihat urutan tulisan yang ditulis dengan huruf sambung khas orang dewasa. Modus apa ini?... menggunakan belas kasihan untuk seorang anak kecil, yang diutus oleh orang yang dewasa...cih!!! Mengeksploitasi anak-anak ni...Tapi, buat apa aku menggerutu, toh aku tak berniat mengisikan uang pada amplop yang kini hanya kugeletakkan saja di depan meja kecilku. Terlalu pelit, atau terlalu banyak berfikir mengenai 'apa manfaatnya uang yang kuberikan itu'... Mungkin ada seseorang yang pernah berkata padaku, kalo kita mau memberikan bantuan pada seseorang, ya berikanlah dengan ikhlas, jangan memikirkan hal yang negatif tentang orang itu...maka dengan ijin Allah uang itu akan bermanfaat juga buat orang yang diberi. Nah, kalo sudah begini susah ni urusannya. dari pada mikir negatif dan ujung-ujungnya nggak ikhlas, mendingan ga' usah ngasih sekalian...(Pemikiran dangkal seorang Khansaisme) Whatever lah,, anak-anak itu hanya korban dari keadaan, dan kembali lagi...semuanya itu demi perut...perut...dan perut... Jadi inget bunyi salah satu pasal di UUD RI 1945,,,"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".... Sepertinya aku tahu kalo itu semua bulshit...a.k.a omong kosong belaka...a.k.a...pemikiran ideal yang sulit atau bahkan enggan untuk direalisasikan...malah kalo mau dibilang ni,,,beberapa waktu lalu di sebuah berita televisi, ada sebuah pengakuan seorang anak jalanan yang ditangkap oleh sebuah lembaga sosial (satpol pp) yang mengurusi rehabilitasi anak-anak jalanan. Mereka mengakui bahwa disana bukannya menjadi lebih baik, justru malah menjadi lebih kacau dengan berbagai perlakuan kasar yang diterima dan dilakukan oleh sesama penghuni panti rehab dan juga keterkungkungan yang diberlakukan di lembaga itu. Miris...Pisunlah... Berbeda dengan pengakuan seorang mantan anak jalanan yang malah kehidupannya menjadi lebih baik saat mereka berada di sebuah rumah singgah (rumah singgah ini bukan milik pemerintah)... Hal ini membuktikan bahwa pemerintah kurang berhasil memelihara mereka,,,justru pemeliharaan dari sesama malah lebih berhasil... Opsss....kok jadi ngelantur kesini yak,,,,ckckck... Tak apalah,,,buat kasih tau juga mengenai bagaimana pemerintah memelihara rakyatnya yang heterogen ini... Hmmm,,,sepertinya perutku terlalu sakit untuk melanjutkan tulisan ini...ini pasti karena makanan pedas yang akhir" ini membuat ususku perih,,,melilit dan berteriak takkaruan.... bentar yak,,,di pause dulu...

[+/-] Selengkapnya...

Ini Kereta Ekonomi,,,Semua Dapat Ditemui Disini

06022010 12.30 wib
Sedikit membuatku mengerutkan dahi saat memasuki area stasiun. Tapi, aku pikir ini akan menjadi hari penuh petualangan,,ehhhmmmm sedikit petualangan tepatnya. Loket pembelian tiket yang sudah mulai sepi saat terdengar suara yang menggema keluar dari speaker yang dipasang di sepanjang koridor stasiun. Speaker itu meneriakkan tentang kedatangan kereta kelas ekonomi yang berangkat dari Jakarta menuju Kroya. Ops...sebentar lagi aku akan terlambat...(pikirku). Dengan segera aku menghampiri lubang loket yang dijaga oleh seorang wanita berjilbab, wanita itu menanyakan tujuanku dan aku pun segera menjawab 'Kroya', tanpa menunggu lama wanita itu menyodorkan selembar tiket berwarna peach, sembari berkata 'Dua puluh ribu'. Ok..., aku segera mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dan pergi meninggalkan loket. "Pelayanan yang biasa saja!" batinku sembari menyusuri koridor stasiun, menuju rel kereta api di jalur 3. Di sudut koridor, sebelum aku berbelok ke jalur 3, seorang gadis tomboy menatapku tanpa berkedip. "Ada yang salah denganku?" tanyaku heran sembari membalas tatapan gadis itu padaku. Di sebelah gadis tomboy itu, akhirnya aku menyadari ada seorang gadis yang lebih feminim yang masih mengenakan seragam SMA. Gadis itu pun turut menatapku yang siang itu hanya mengenakan kaos hitam, celana pendek hitam, dan sebuah sepatu kanvas yang sengaja kuinjak bagian tumitnya. "Wah,,dilema dunia yang hampir kiamat!" celetukku dalam hati menyaksikan kedua makhluk itu. Mungkin aku terlalu mengambil kesimpulan sepihak, tapi tingkah dua gadis itu mengingatkanku pada problematika dunia yang menjadi salah-satu pertanda kiamat. "Ingat cerita Nabi Lut?...I think like this..." 12.35 wib
Perjalananku berlanjut, tanpa menunggu lama sebuah kereta api datang dari arah barat stasiun, memasuki gerbang stasiun dan siap memuat puluhan penumpang yang sudah menunggunya di sepanjang jalur pemberangkatan. Dengan tas ransel yang kubawa, aku tak kesulitan untuk menaiki kereta api, dan memang tak pernah. Pertama memasuki kereta api yang cukup longgar itu, aku disambut dengan aroma toilet yang tak begitu mengenakkan... seperti layaknya aroma wc umum di terminal bus antar kota. Gerbong terakhir ke tiga, aku memilih memasuki gerbong itu. Dan karena aku bukan tipe pemilih yang rumit, aku langsung saja duduk di bangku yang kosong, sepertinya tak ada penghuninya. Mungkin terbayang jika aku berjalan menyusuri gerbong kereta api hanya untuk memilih tempat duduk favorit. It's namanya membuang waktu. Aku duduk menghadap ke barat, dan itu artinya aku duduk mundur berlawanan dengan arah kereta, dan bagi sebagian orang itu sangat tidak mengenakkan, karena sebagian orang itu akan merasa pusing jika terduduk mundur dalam kendaraan.Tapi, beruntung bagiku, aku tak mengalami hal itu. Kereta terdiam di stasiun selama tak lebih dari 10 menit. Aku hanya diam, menatap ke luar jendela. Di seberang kereta yang kunaiki, aku melihat kedua cewek yang tadi menatapku itu masih duduk berduaan di sudut koridor stasiun. "Dasar!" seruku lirih, aku hanya menggelengkan kepala dan mengalihkan pandanganku pada tiga makhluk yang sepertinya tak kalah menarik dengan dua gadis itu. Aku bingung menyebut ketiga makhluk itu. Tiga orang pria berbadan kekar, dengan kulitnya yang tak begitu putih, malah boleh dibilang cowok-cowok itu cukup macho dan berotot, andai saja mereka bertiga tak mengenakan rok mini dan dandanan menornya yang menegaskan bahwa mereka adalah 'Banci'. "Tiga banci kaleng!" akhirnya itulah sebutan yang kumiliki untuk tiga makhluk itu, saat kulihat sebuah kecrekan tutup botol yang masing-masing ada di tangan makhluk itu. Fenomena macam apa ini??? Demi tuntutan perut, atau mereka memang seorang waria??? Kalo boleh menghakimi, mungkin aku akan berkata bahwa 'mereka masih memiliki potensi untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik, menjadi tukang bangunan, atau menjadi kuli panggul, daripada menjadi waria, banci kaleng, atau hal semacamnya..." Miris sekali melihat seorang pria yang harusnya bersikap selayaknya pria, ini justru berjalan melenggak-lenggok, memamerkan lekuk tubuhnya yang kekar, lengkap dengan polesan bedak dan lipstik yang super menor. Ini fenomena yang biasa, semua terjadi karena tuntutan ekonomi, tuntutan untuk tak mengemis, tuntutan untuk memenuhi isi perut. Aku hanya bisa menelan ludah, merasa prihatin, bersimpati tanpa dapat memberikan empati bagi mereka. Speaker di stasiun kembali bergema, mengingatkan kereta kelas ekonomi itu untuk beranjak pergi. Aku mengorek saku celana pendekku, meraih selembar tiket yang tadi kumasukkan tanpa aturan. Waktu keberangkatan kereta api cukup tepat waktu, dan kalo boleh kubilang sangat tepat waktu, yaitu pukul 12.45 wib. 12.45 wib
Meyakinkan diri bahwa aku akan pulang ke rumah, ke kampung halamanku, ke kota yang berada di pesisir pantai utara jawa. Setidaknya aku merasa tenang kalo aku merasa seyakin ini untuk bepergian. Tak seperti dua bulan lalu, karena merasa ragu dan bingung, aku pun merelakan tiket kereta apiku hangus tak berguna dan memilih untuk turun dari kereta untuk membatalkan niat kepergianku. Kini aku duduk di sudut gerbong, kusri yang kududuki berhadapan dengan kursi lain, kursi yang lebih panjang dari kursi yang kududuki, dan kursi di depanku itu memuat dua orang pria paruh baya. Seorang pria naik dari stasiun yang sama denganku dan dia membawa sebuah sepeda kecil untuk ukuran anak 4 tahun. Sedangkan pria yang satu yang lebih tua, telah berada di kereta lebih lama, mungkin dia naik dari sebuah stasiun yang ada di Jakarta. Pria yang lebih tua bertanya pada pria di sebelahnya yang baru meletakkan sepeda kecilnya di samping kursi yang kududuki. "Baru?" Tanya pria yang rambutnya sudah setengah botak. "Ia!" Jawab pria paruh baya yang mengenakan sebuah celana panjang berwarna coklat dengan kaos berwarna senada. "Berapa?" Lanjut Pria yang lebih tua dengan logat Jawa Tengah yang cukup kental. "Murah! Buatan China!" Sahut pria yang tak tampak membawa tas atau barang bawaan lain selain sepeda kecilnya itu. "Owh! Tapi lumayanlah!" "Ia, kalau buatan sendiri mahal!" jawab pria berambut ikal dengan senyumannya yang ramah. Aku terdiam, menyaksikan percakapan dua pria di sebrang kursiku. Otakku langsung bekerja dengan cepat, mengingat sebuah artikel yang kuajukan pada sebuah mata kuliah beberapa minggu lalu. Dalam artikel itu aku membahas mengenai beberapa dampak yang terjadi akibat perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan China. Mungkin yang aku saksikan ini adalah salah satu dampak kecil dari perjanjian itu. Mengingat produk China yang membanjiri pasaran Indonesia ini memiliki sebuah keunggulan yang sulit dikalahkan. Harganya yang super duper murah, jelas menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas konsumtif, menginginkan barang bagus, harga murah, dan kadang tak begitu peduli dengan kualitasnya. dan produk China mampu memenuhi semua kriteria itu. Yeah,,, sepertinya produk China akan semakin menggila di Indonesia. 13.15 wib
Otakku terlalu lelah melihat semua hal yang kutemui, mungkin jika aku terus bertahan membuka mata dan telingaku, aku akan merasa mual karena puluhan informasi yang masuk secara bertubi-tubi. Karena itu, aku memilih untuk memejamkan mataku, dan mencoba tak mendengarkan puluhan orang yang berbicara secara bersamaan. Aku tertidur sejenak, meski aku yakin kalo itu bukanlah tidur yang nyaman. Mengingat kata orang, kereta api kelas ekonomi adalah kereta yang rawan dengan makhluk bernama 'PENCOPET', so...aku terus memeluk ransel hijau army ku dan meyakinkan diriku bahwa semua barang bawaanku berada pada posisi yang aman dan tak mungkin terjangkau oleh tangan jahil pencopet. Oia, di kendaraan umum seperti ini aku selalu berharap tak pernah ada orang yang mengajakku berbicara, dan mengobrol, entahlah...bukannya karena aku sombong atau apa. Tapi aku paling tidak nyaman berbicara dengan orang yang baru kukenal, aku pun malas untuk berbasa-basi memulai sebuah percakapan yang kadang tak jelas juntrungannya. Mungkin itu hal negatif yang terus kupelihara, dan sebaliknya, aku lebih senang diam dengan diriku, memperhatikan keadaan sekitarku dan merekamnya dalam memoriku.Mungkin Karena itulah aku paling tidak senang diajak ngobrol oleh orang yang baru kukenal dan memulai pembicaraan, karena itu sangat mengganggu konsentrasiku untuk memperhatikan orang lain. 14.05 wib
Waktu terasa cepat berlalu,setelah menembus pegunungan yang mengitari Bandung, kereta akhirnya sampai di stasiun Cibatu, yang berada di kabupaten Garut. Aku terbangun dari tidur ayamku,,kulihat pria paruh baya yang lebih muda itu berpamitan kepada pria yang lebih tua, mereka menggunakan salam seperti pria-pria yang biasa kulihat (Hmmm,,, setidaknya pria berbeda dengan wanita yang penuh dengan senyuman dan basa-basi). Pria paruh baya itu mengangkat sepedanya dan segera keluar dari kereta. Rasanya semakin longgar saja kereta yang masih akan melanjutkan pearjalanannya ke Jawa Tengah. Meski suara riuh pedagang asongan masih terus ada, bahkan semakin ramai, tapi so far...dapat membuat nyamanlah. Tapi ada yang selalu kupikirkan mengenai pedagang asongan itu, mereka selalu mondar-mandir dari gerbong yang satu ke gerbong yang satunya lagi, dan bolak-balik dari depan ke belakang, menawari penumpang satu per satu, di kanan dan kiri... selalu saja begitu. Meski banyak penumpang yang sudah ditawari dan menolaknya, tapi pedagang-pedagang asongan itu terus saja menawarinya lagi...lagi...dan lagi... Apa mereka mempunyai ingatan yang rendah untuk mengingat penumpang yang telah menolaknya, atau mereka tak mengerti.. Inilah dilema pada pedagang asongan yang kadang dipandang remeh, bahkan tak dipandang sama sekali oleh sebagian orang, mereka kadang dianggap pengganggu kenyamanan saja. Tapi, mungkin ada satu hal yang harus dianggap dan dipandang mengenai para pedangang asongan itu, bahwa mereka adalah tipe-tipe manusia pekerja yang tak pernah putus asa. Mempunyai kesabaran yang cukup baik (meski tak semuanya) untuk menghadapi para penumpang kereta api yang angkuh, sombong, dan merasa diri mereka memiliki derajat lebih tinggi dari para pedagang asongan itu (ini juga tak semuanya...). Ceritaku masih berlanjut.... anggap saja aku mengajak kalian semua mudik bersamaku...hehe...Aku masih memiliki cerita mengenai bocah lelaki bernama Ikhsan...Si Bongkok yang melintas,,,kisah 3 Banci kaleng yang kembali terulang...Pengemis ngesot...Lagu Wali dan Tukang Telur Asin.... Haha...banyak kejadian yang aneh,,,lucu,,,dan segudang pertanyaan mengenai kereta api kelas ekonomi...

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 08 Februari 2010

Ini Kelas Ekonomi,, Semua Dapat Ditemui Di Sini..

06022010
12.30 wib
Sedikit membuatku mengerutkan dahi saat memasuki area stasiun. Tapi, aku pikir ini akan menjadi hari penuh petualangan,,ehhhmmmm sedikit petualangan tepatnya. Loket pembelian tiket yang sudah mulai sepi saat terdengar suara yang menggema keluar dari speaker yang dipasang di sepanjang koridor stasiun. Speaker itu meneriakkan tentang kedatangan kereta kelas ekonomi yang berangkat dari Jakarta menuju Kroya. Ops...sebentar lagi aku akan terlambat...(pikirku). Dengan segera aku menghampiri lubang loket yang dijaga oleh seorang wanita berjilbab, wanita itu menanyakan tujuanku dan aku pun segera menjawab 'Kroya', tanpa menunggu lama wanita itu menyodorkan selembar tiket berwarna peach, sembari berkata 'Dua puluh ribu'. Ok..., aku segera mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dan pergi meninggalkan loket.
"Pelayanan yang biasa saja!" batinku sembari menyusuri koridor stasiun, menuju rel kereta api di jalur 3. Di sudut koridor, sebelum aku berbelok ke jalur 3, seorang gadis tomboy menatapku tanpa berkedip.
"Ada yang salah denganku?" tanyaku heran sembari membalas tatapan gadis itu padaku. Di sebelah gadis tomboy itu, akhirnya aku menyadari ada seorang gadis yang lebih feminim yang masih mengenakan seragam SMA. Gadis itu pun turut menatapku yang siang itu hanya mengenakan kaos hitam, celana pendek hitam, dan sebuah sepatu kanvas yang sengaja kuinjak bagian tumitnya.
"Wah,,dilema dunia yang hampir kiamat!" celetukku dalam hati menyaksikan kedua makhluk itu. Mungkin aku terlalu mengambil kesimpulan sepihak, tapi tingkah dua gadis itu mengingatkanku pada problematika dunia yang menjadi salah-satu pertanda kiamat.
"Ingat cerita Nabi Lut?...I think like this..."
12.35 wib
Perjalananku berlanjut, tanpa menunggu lama sebuah kereta api datang dari arah barat stasiun, memasuki gerbang stasiun dan siap memuat puluhan penumpang yang sudah menunggunya di sepanjang jalur pemberangkatan. Dengan tas ransel yang kubawa, aku tak kesulitan untuk menaiki kereta api, dan memang tak pernah. Pertama memasuki kereta api yang cukup longgar itu, aku disambut dengan aroma toilet yang tak begitu mengenakkan... seperti layaknya aroma wc umum di terminal bus antar kota. Gerbong terakhir ke tiga, aku memilih memasuki gerbong itu. Dan karena aku bukan tipe pemilih yang rumit, aku langsung saja duduk di bangku yang kosong, sepertinya tak ada penghuninya. Mungkin terbayang jika aku berjalan menyusuri gerbong kereta api hanya untuk memilih tempat duduk favorit. It's namanya membuang waktu. Aku duduk menghadap ke barat, dan itu artinya aku duduk mundur berlawanan dengan arah kereta, dan bagi sebagian orang itu sangat tidak mengenakkan, karena sebagian orang itu akan merasa pusing jika terduduk mundur dalam kendaraan.Tapi, beruntung bagiku, aku tak mengalami hal itu. Kereta terdiam di stasiun selama tak lebih dari 10 menit. Aku hanya diam, menatap ke luar jendela. Di seberang kereta yang kunaiki, aku melihat kedua cewek yang tadi menatapku itu masih duduk berduaan di sudut koridor stasiun.
"Dasar!" seruku lirih, aku hanya menggelengkan kepala dan mengalihkan pandanganku pada tiga makhluk yang sepertinya tak kalah menarik dengan dua gadis itu. Aku bingung menyebut ketiga makhluk itu. Tiga orang pria berbadan kekar, dengan kulitnya yang tak begitu putih, malah boleh dibilang cowok-cowok itu cukup macho dan berotot, andai saja mereka bertiga tak mengenakan rok mini dan dandanan menornya yang menegaskan bahwa mereka adalah 'Banci'. "Tiga banci kaleng!" akhirnya itulah sebutan yang kumiliki untuk tiga makhluk itu, saat kulihat sebuah kecrekan tutup botol yang masing-masing ada di tangan makhluk itu. Fenomena macam apa ini??? Demi tuntutan perut, atau mereka memang seorang waria??? Kalo boleh menghakimi, mungkin aku akan berkata bahwa 'mereka masih memiliki potensi untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik, menjadi tukang bangunan, atau menjadi kuli panggul, daripada menjadi waria, banci kaleng, atau hal semacamnya..." Miris sekali melihat seorang pria yang harusnya bersikap selayaknya pria, ini justru berjalan melenggak-lenggok, memamerkan lekuk tubuhnya yang kekar, lengkap dengan polesan bedak dan lipstik yang super menor. Ini fenomena yang biasa, semua terjadi karena tuntutan ekonomi, tuntutan untuk tak mengemis, tuntutan untuk memenuhi isi perut. Aku hanya bisa menelan ludah, merasa prihatin, bersimpati tanpa dapat memberikan empati bagi mereka. Speaker di stasiun kembali bergema, mengingatkan kereta kelas ekonomi itu untuk beranjak pergi. Aku mengorek saku celana pendekku, meraih selembar tiket yang tadi kumasukkan tanpa aturan. Waktu keberangkatan kereta api cukup tepat waktu, dan kalo boleh kubilang sangat tepat waktu, yaitu pukul 12.45 wib.
12.45 wib
Meyakinkan diri bahwa aku akan pulang ke rumah, ke kampung halamanku, ke kota yang berada di pesisir pantai utara jawa. Setidaknya aku merasa tenang kalo aku merasa seyakin ini untuk bepergian. Tak seperti dua bulan lalu, karena merasa ragu dan bingung, aku pun merelakan tiket kereta apiku hangus tak berguna dan memilih untuk turun dari kereta untuk membatalkan niat kepergianku. Kini aku duduk di sudut gerbong, kusri yang kududuki berhadapan dengan kursi lain, kursi yang lebih panjang dari kursi yang kududuki, dan kursi di depanku itu memuat dua orang pria paruh baya. Seorang pria naik dari stasiun yang sama denganku dan dia membawa sebuah sepeda kecil untuk ukuran anak 4 tahun. Sedangkan pria yang satu yang lebih tua, telah berada di kereta lebih lama, mungkin dia naik dari sebuah stasiun yang ada di Jakarta. Pria yang lebih tua bertanya pada pria di sebelahnya yang baru meletakkan sepeda kecilnya di samping kursi yang kududuki. "Baru?" Tanya pria yang rambutnya sudah setengah botak. "Ia!" Jawab pria paruh baya yang mengenakan sebuah celana panjang berwarna coklat dengan kaos berwarna senada. "Berapa?" Lanjut Pria yang lebih tua dengan logat Jawa Tengah yang cukup kental. "Murah! Buatan China!" Sahut pria yang tak tampak membawa tas atau barang bawaan lain selain sepeda kecilnya itu. "Owh! Tapi lumayanlah!" "Ia, kalau buatan sendiri mahal!" jawab pria berambut ikal dengan senyumannya yang ramah. Aku terdiam, menyaksikan percakapan dua pria di sebrang kursiku. Otakku langsung bekerja dengan cepat, mengingat sebuah artikel yang kuajukan pada sebuah mata kuliah beberapa minggu lalu. Dalam artikel itu aku membahas mengenai beberapa dampak yang terjadi akibat perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan China. Mungkin yang aku saksikan ini adalah salah satu dampak kecil dari perjanjian itu. Mengingat produk China yang membanjiri pasaran Indonesia ini memiliki sebuah keunggulan yang sulit dikalahkan. Harganya yang super duper murah, jelas menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas konsumtif, menginginkan barang bagus, harga murah, dan kadang tak begitu peduli dengan kualitasnya. dan produk China mampu memenuhi semua kriteria itu. Yeah,,, sepertinya produk China akan semakin menggila di Indonesia.
13.15 wib
Otakku terlalu lelah melihat semua hal yang kutemui, mungkin jika aku terus bertahan membuka mata dan telingaku, aku akan merasa mual karena puluhan informasi yang masuk secara bertubi-tubi. Karena itu, aku memilih untuk memejamkan mataku, dan mencoba tak mendengarkan puluhan orang yang berbicara secara bersamaan. Aku tertidur sejenak, meski aku yakin kalo itu bukanlah tidur yang nyaman. Mengingat kata orang, kereta api kelas ekonomi adalah kereta yang rawan dengan makhluk bernama 'PENCOPET', so...aku terus memeluk ransel hijau army ku dan meyakinkan diriku bahwa semua barang bawaanku berada pada posisi yang aman dan tak mungkin terjangkau oleh tangan jahil pencopet. Oia, di kendaraan umum seperti ini aku selalu berharap tak pernah ada orang yang mengajakku berbicara, dan mengobrol, entahlah...bukannya karena aku sombong atau apa. Tapi aku paling tidak nyaman berbicara dengan orang yang baru kukenal, aku pun malas untuk berbasa-basi memulai sebuah percakapan yang kadang tak jelas juntrungannya. Mungkin itu hal negatif yang terus kupelihara, dan sebaliknya, aku lebih senang diam dengan diriku, memperhatikan keadaan sekitarku dan merekamnya dalam memoriku.Mungkin Karena itulah aku paling tidak senang diajak ngobrol oleh orang yang baru kukenal dan memulai pembicaraan, karena itu sangat mengganggu konsentrasiku untuk memperhatikan orang lain.
14.05 wib
Waktu terasa cepat berlalu,setelah menembus pegunungan yang mengitari Bandung, kereta akhirnya sampai di stasiun Cibatu, yang berada di kabupaten Garut. Aku terbangun dari tidur ayamku,,kulihat pria paruh baya yang lebih muda itu berpamitan kepada pria yang lebih tua, mereka menggunakan salam seperti pria-pria yang biasa kulihat (Hmmm,,, setidaknya pria berbeda dengan wanita yang penuh dengan senyuman dan basa-basi). Pria paruh baya itu mengangkat sepedanya dan segera keluar dari kereta. Rasanya semakin longgar saja kereta yang masih akan melanjutkan pearjalanannya ke Jawa Tengah. Meski suara riuh pedagang asongan masih terus ada, bahkan semakin ramai, tapi so far...dapat membuat nyamanlah. Tapi ada yang selalu kupikirkan mengenai pedagang asongan itu, mereka selalu mondar-mandir dari gerbong yang satu ke gerbong yang satunya lagi, dan bolak-balik dari depan ke belakang, menawari penumpang satu per satu, di kanan dan kiri... selalu saja begitu. Meski banyak penumpang yang sudah ditawari dan menolaknya, tapi pedagang-pedagang asongan itu terus saja menawarinya lagi...lagi...dan lagi... Apa mereka mempunyai ingatan yang rendah untuk mengingat penumpang yang telah menolaknya, atau mereka tak mengerti.. Inilah dilema pada pedagang asongan yang kadang dipandang remeh, bahkan tak dipandang sama sekali oleh sebagian orang, mereka kadang dianggap pengganggu kenyamanan saja. Tapi, mungkin ada satu hal yang harus dianggap dan dipandang mengenai para pedangang asongan itu, bahwa mereka adalah tipe-tipe manusia pekerja yang tak pernah putus asa. Mempunyai kesabaran yang cukup baik (meski tak semuanya) untuk menghadapi para penumpang kereta api yang angkuh, sombong, dan merasa diri mereka memiliki derajat lebih tinggi dari para pedagang asongan itu (ini juga tak semuanya...).
Ceritaku masih berlanjut.... anggap saja aku mengajak kalian semua mudik bersamaku...hehe...Aku masih memiliki cerita mengenai bocah lelaki bernama Ikhsan...Si Bongkok yang melintas,,,kisah 3 Banci kaleng yang kembali terulang...Pengemis ngesot...Lagu Wali dan Tukang Telur Asin.... Haha...banyak kejadian yang aneh,,,lucu,,,dan segudang pertanyaan mengenai kereta api kelas ekonomi...

[+/-] Selengkapnya...