Kamis, 17 Juni 2010

Cerita ke Gunung Gede

Hari ini aku pikir aku akan kembali rajin masuk kuliah. Setelah beberapa hari kemarin giat membolos karena bepergian ke luar kota. Tapi ternyata aku salah, hari ini aku berburu dengan waktu. Antara mengikuti mata kuliah Feature dan Dokumenter, dan persiapanku untuk melancong ke gunung bersama teman-teman kampus. Opsss..., parahnya lagi kuliah yang harusnya dimulai pukul 13.30 wib itu harus diundur menjadi pukul 15.00 wib (dosennya telat berlebihan tuh). Jadi, sedikit mengesalkan jika inget hal kayak gini, dosen telat kita tungguin, eh kalo mahasiswa telat disuruh tutup pintu dari luar a.k.a nggak boleh masuk (tapi bukan untuk dosen matkul ini kok...hehe). Balik lagi ke acara melancong ke gunung yang tadi sempet aku singgung dikit...dikit banget. Kadang aku pikir diriku cukup nggak punya perhitungan. Mengingat baru bermalam sehari di Bandung (setelah balik dari Surabaya) aku sudah memutuskan untuk ikut pergi mendaki gunung Gede (infonya aku dapet hari kamis, dari temanku yang juga nggak sengaja cerita). Yups..., tanpa nunggu lama lagi, hari kamis itu juga aku langsung mendaftarkan diri buat ikut ke gunung Gede yang letaknya di provinsi Jawa Barat. Berangkat dari Kampus... Bandung, Jum’at 4 Juni 2010 Sore hari sekitar pukul 17.00 wib, beberapa mahasiswa dan seorang dosen di Kampus melepas kepergian 9 orang mahasiswa yang hendak mendaki Gunung Gede dengan sebuah do’a. Setelah do’a dan salam-salaman yang bagiku kadang terkesan aneh itu, kami bersembilan (Jack, Feri, Maula, Boim, Hugo, Icos, Pepy, Putri, Khansa) langsung meluncur dengan angkot ijo. Yaaa..., sedikit tawar-menawar dengan si sopir angkot berbadan gempal itu, akhirnya kami memperoleh kesepakatan harga sebesar 7 ribu rupiah untuk sampai langsung ke terminal Leuwipanjang. Sepanjang perjalanan angkot yang kami naiki cukup sempit, mengingat tas-tas besar yang kami bawa. Aslinya di angkot berulangkali aku menguap, menahan kantuk yang cukup menggila (abis akhir-akhir ini memang tidurku sangat kurang... hehe matapun bengkak mirip sby..:D), tapi aku terus memaksa mataku untuk melek, apalagi kalo ngedengerin cerita anak-anak di dalam angkot yang memperdebatkan waktu kepulangan kami, bolos kuliah yang kami niatkan (matakuliah MPK 1), obrolan Jack, Feri, dan Boim mengenai perijinan pendakian ke gunung yang sedikit...ehmmm...ehmm.... tapi semua obrolan kami terhenti di perempatan Tegalega, saat seorang pengamen menghampiri angkot yang kami naiki, dan menyanyikan sebuah lagu dari Krispatihh dengan suaranya yang cukup mencengangkan kami. 17.30 wib... kami sampai diterminal Leuwipanjang, tapi kami sengaja minta diturunkan di pinggir jalan yang berjarak beberapa meter dari terminal, karna kalo di dalam terminal kami akan dipusingkan dengan calo-calo terminal yang cerewet. Hingga adzan magrib berbunyi, kami masih menunggu bis yang akan mengantarkan kami ke Cianjur. Beberapa bis lewat dan kami belum mendapati bis yang sesuai dengan tujuan kami, sampai akhirnya bis yang kami maksud melintas di depan kami. Wew...lagi-lagi kami melakukan tawar-menawar sampai mendapat kesepakatan harga per orang 13 ribu rupiah untuk bisa menaiki bis berAC itu. @ d’ Bus... Gilllaaa!!! Batinku dalam hati saat memasuki bis itu. Bau balsem menyambut hidungku. Benar-benar perjalanan yang kurang membuat nyaman sampai akhirnya bapak-bapak pemakai balsem yang duduk persis di belakangku itu turun. Masalah balsem yang mengganggu itu beres, tapi kini muncul lagi pengganggu. Seorang wanita paruh baya yang hendak pergi ke Kebon Jeruk itu mengomel pada kondektur bis, karena merasa tak diberitahu bahwa bis yang ia tumpangi itu berputar melewati puncak (yang intinya memutar lebih jauh sebelum sampai ke Kebon Jeruk). “Plis dong bu, makanya kalo mau naik tanya dulu!!!” gerutuku dalam hati sembari menatap lekat-lekat wanita yang masih mengomel sendiri itu. “Kondektur nggak mungkin memberitahu satu per satu penumpang kan... atau mungkin dia lalai...!!!” wanita itu tiba-tiba menatapku, mungkin dia berpikir aku mendukungnya. @ Kaki Gunung Putri... dan rumah Omen... Haaaaa....., bis yang aneh itu akhirnya berhasil mengantarkan kami ke (???). dari tempat pemberhentian angkot, kami meluncur lagi menuju kaki gunung Putri. Oia, kali ini kami kembali dikenai biaya angkot 7 ribu rupiah. Ada lelucon yang muncul dari Boim. Cowok berjenggot itu membuat pernyataan bahwa ‘tingkat ketinggian akan mempengaruhi kecerdasan manusia’ alias menambah tingkat kebodohan seseorang. Hahaha..... (aku tertawa, tanpa berpikir bahwa aku juga akan terjebak dengan pernyataan itu). Hari sudah malam, aku lupa dengan jamku. Yang jelas udara disana sudah terasa dingin. Gerimis pun turun saat seorang teman Boim yang tak sengaja ditemuinya menawarkan tempat untuk kami bermalam. Akhirnya niat semula kami yang akan mulai mendaki pukul 24.00 itu dibatalkan, dan kami pun menerima tawaran Omen untuk bermalam di rumahnya dan memulai perjalanan pagi-pagi buta. Pukul 24.00 wib, aku pikir aku akan sulit terpejam jika tidur di rumah orang. Tapi, aku kembali salah..., aku tertidur dan terbangun saat sebuah alarm handphone bernyanyi. Wah..., aslinya aku kadang takut berbagai kebiasaan buruk saat tidur terbongkar (soalnya kalo tidurkan nggak sadar..) tapi yang jelas ada yang ngorok paling keras malam itu...(hahaha...sapa yaa...wkwkwk). Pukul 03.00 wib, antre...antre...antre kamar mandi... disini nih Pepy lah yang paling lama bergelut di kamar mandi. Entah ketiduran lagi, ato nggak berani pegang air yang super dingin...ato apalah.... sampai akhirnya pemuda Timor Leste itu keluar dari kamar mandi dengan keadaan selamat tak kurang satu apapun... Memulai perjalanan... Aku yang memuakkan... Pukul 04.00 wib, kami bersembilan memulai perjalanan menapaki kaki Gunung Putri, menuju Gunung Gede. Pagi itu udara dingin, dingin sekali, dan aku pikir itu adalah cuaca ternikmat untuk tidur...haha... Dengan semangat kami berpamitan pada Omen yang telah berbaik hati menampung kami selama beberapa jam untuk tidur. Aku rasa aku cukup bersemangat...ya...aku pikir, hingga beberapa langkah menuju pos penjaga aku merasakan mataku mulai gelap, kakiku terasa berat untuk diajak melangkah. “Aku pusing!” seruku pada Feri yang berjalan tepat di belakangku. “Memalukan dan mamuakkan!” aku pikir jika aku harus menyadari bahwa aku pusing, lemah, dan konyol. Sejenak aku berpikir bahwa aku harus berjalan terus, paling pantang bagiku untuk menyerah sebelum semua hal yang kulakukan selesai. “Udah kalian duluan aja, nanti aku nyusul!” pintaku pada Feri dan Pepy yang menemaniku di belakang, aku nggak tega dua orang itu ketinggalan jauh dari rombongan yang lain yang sudah berjalan lebih dulu di depan.. “Nggak! Nggak bisa gitu dong!” ujar Feri. Hee.... disini aku sadar dan yakin bahwa kebersamaan memang hal yang penting. Rasa peduli terhadap sesama dan sifat seseorang mungkin akan lebih tercermin disaat-saat seperti ini. Ya..., aku menyadarinya. Semangat lagiii... Sampai akhirnya di dekat mata air, kami bersembilan kembali berkumpul. Memasak sarapan pagi untuk menambah tenaga perjalanan yang masih panjang. Pukul 06.30 wib, kami kembali berjalan meski sudah makan, tapi aku masih belum merasakan diriku yang sebenarnya, aku masih sedikit sempoyongan, menerima uluran tangan teman lain untuk membantuku berjalan (ini adalah hal paling anti kulakukan..., ya menerima uluran tangan cowok) tapi apa boleh buat, aku muak. Tapi, aku cukup beruntung menemukan sebatang kayu (aslinya yang nemu Icos) yang bisa sedikit membantuku berjalan lebih baik... haha...atau aku hanya tersugesti. Pos 1 berhasil kami lewati, entah jam berapa saat itu (aku sudah tak peduli dengan jam dan waktu). “Ayo semangat!!!” batinku dalam hati. “Semangat!!!” tegasku kemudian pada diriku sendiri. “Semuanya balik kediri sendiri sih, kalo kamu pikir kamu bisa..., ya kamu pasti bisa!” hee...kurang lebih begitulah yang aku dengar dari Boim, pemuda yang cukup akrab dengan gunung itu kadang punya kalimat yang memotivasi juga ternyata. Semangat...semangat...semangat!!! Mungkin itu adalah kata-kata mujarabku untuk perjalanan kali ini. Aku kembali bersemangat.... yaa...aku pikir aku menemukan diriku yang tadi bersembunyi sejenak di kaki gunung. Orang-orang yang kami temui di tengah gunung... Di gunung, mungkin sebagian besar orang memakai baju berwarna gelap, atau senada dengan hutan. Mungkin hal ini dilakukan agar baju yang kita pakai tak kelihatan kotor-kotor amat. Tapi, nggak berlaku buat wanita bernama Endah yang kami temui di hutan. Dia dengan rapihnya memakai baju berwarna merah cerah. “Meskipun naik gunung, kita harus tetep gaya dong!” ujarnya dengan ramah pada kami. Tak hanya bercerita mengenai baju atau dresscode mendaki yang keren, dia juga menceritakan mengenai perjalanannya ke beberapa gunung yang ada di Indonesia, dan tak lupa ia menceritakan mengenai hobi berfotonya yang aku pikir sama dengan kami bersembilan...haha.... Selain wanita ramah itu, kami juga bertemu dengan pendaki-pendaki lain... meski nggak ada yang seramah wanita itu, tapi aku merasakan di dalam hutan kami semua teras dekat, saling menyapa, saling memberi salam saat berpapasan, bahkan ada yang berbaik hati memberikan pengobatan saat temanku Putri mengalami keram kaki. Senang sekali, ini adalah kali pertamaku kembali berjalan-jalan di gunung, setelah lepas SMA dan tidak termasuk saat ospek kampus kan...hehe... Mulai mengeluh... Mengeluh! Kadang hal itu tanpa sengaja kami lakukan, tapi aku senang jika ada orang yang mengatakan bahwa kita hampir sampai, meski aslinya masih lama. Tapi buatku itu akan menjadi semacam motivasi yang menambah semangat. Haha..., aku terlalu senang dibodohi...weee.... Kelelahan perjalanan terobati saat kami sampai di Suryakencana, padang edelweis yang menyejukkan mata. Di tempat itulah kami mendirikan tenda untuk kami bermalam, tapi belum sempat kami sampai di tempat pendirian tenda, hujan sudah turun menyambut kedatangan kami. Hujan di gunung... so cold huh!!! Hoooo...., air hujan di gunung itu segera membasahi tubuh kami, meski kami mengenakan jas hujan. “Pipiku keram!!!” ujarku masih dengan semangat pada Jack yang terlihat menggigil. Haaa..., hanya keram pipi, tapi semuanya kunikmati. Dan beruntungnya aku, aku bisa menikmati buah arbei yang tumbuh di sekitar tempat kami mendirikan tenda. “Mau arbei!” tawarku pada Jack, Putri, dan Hugo yang menggigil tak karuan. Haaa..., aku seperti tak melihat keadaan saja merasa senang saat teman yang lain menggigil kedinginan. “Semangat heh!!!” batinku. Saat itu aku memperhatikan sebagian besar teman-temanku kedinginan dengan baju mereka yang hampir basah semua, tapi aku melihat ketenangan saat Boim terus bernyanyi dan berceloteh tak karuan sembari mendirikan tenda bersama-sama dalam kedinginan. Setidaknya itu akan memberikan semangat bagi teman yang lainnya, yaa...selain buah arbei yang asam itu. Malam tiba..., kami terlelap dalam tenda-tenda kecil kami yang berwarna orange. Gagal Sunrise... Sunrise..., hoooo..., kmi melewatkannya. Meski sudah bangun saat jam empat, tapi aku nggak keluar dari tenda. Jack yang mencoba membangunkan Hugo, Icos, dan Pepy (mereka niatnya mau melihat sunrise) pun nggak berhasil membuat mereka bangun. Alhasil, kami melewatkan sunrise..., huuuu..., hanya terima mendengar teriakan orang-orang dari puncak gunung. Aku pun terlelap kembali di dalam kantong tidur yang wangi. Pagi di Suryakencana... Foto-foto...haaaa..., itu kayaknya jadi agenda utama perjalanan ke gunung deh. Di balik dinginnya kabut pagi, kami mulai bergerilya dengan kamera kami (terutama ni buat Hugo, Pepy, ma Icos). Berbeda dengan Putri yang lebih lihai difoto...haaa...narsislah buat cewek itu wajib, sedang di sela-sela tenda pagi itu, Maula sibuk menjadi koki dadakan dan menyiapkan sarapan pagi. Kali ini sarapan pagi di Suryakencana, dengan menu utama nasi, mie goreng yang aslinya dari mie rebus, kornet goreng, ikan asin, sambel kecap. Wow... menu yang cukup lengkap di tengah gunung yang dingin. Kami rasa kami cukup lahap dalam urusan makan, meski nasinya terasa sedikit keras alias belum mateng sempurna, tapi buat kami saat itu adalah hal terenak. Mengingat saat itu para cewek (aku dan Putri) nggak banyak membantu bahkan sama sekali tak membantu dalam urusan memask, jadi kami putuskan untuk membantu dalam urusan mencuci piring (kita nggak pake deterjen loh.., ini bukan jorok, tapi mencintai lingkungan). Wkwkwkwk... tapi jangan salah, dalam urusan mencuci piring, kami berdua menjunjung tinggi narsisme (minta difoto terus pas nyuci piring ^_^v). (setelah nyuci piring, aku lupa meninggalkan handuk Jack di toilet...heee...maaf gan!!) Goes to the top of the mount Gede... Foto-foto di padang edelweis... udah, ngejemur pakaian basah... udah, sarapan... udah, dan saatnya membenahi tenda dan semuanya. Kami berjalan kembali menuju puncak gunung, tapi cuaca rada sedikit nggak bersahabat lagi. Gerimis seolah menyuruh kami untuk bergegas ke puncak sebelum hujan turun. Perjalanan kami terasa semakin tinggi, seperti diketahui bahwa semakin kita berada di ketinggian, nafas kita terasa semakin pendek saja. Hah.. heh... hoh...!!! Kali ini Putri berjalan sedikit nggak bersemangat, seolah memulai perjalanan dari awal. “Ayo Put, semangat!!!” teriakku dan semua teman. Dengan penuh semangat akhirnya kami sampai di puncak gunung, tapi sayangnya kami nggak dapat memperoleh pemandangan indah yang seharusnya kami dapatkan kalo saja kabut tak menutup puncak gunung. Tapi, syukurlah misi penancapan bendera bidik terlaksana dengan baik (entah apa sekarang masih nampang ya tuh bendera di puncak sana..). Balik heh.... Turun gunung!!! Wew..., rasanya malas sekali buat turun dari puncak gunung kalo inget perjalanan naik yang penuh perjuangan. Perjalanan turun memang terasa lebih ringan (karna badan tertarik oleh gravitasi bumi). Beberapakali kami beristirahat, memakan biskuit, minum teh, dan memasukkan berbagai jenis makanan yang mungkin dapat membantu menambah tenaga kami. Tapi, diperjalanan pulang ini kami nggak membawa banyak air, karena kami melewati cukup banyak sumber air, dan serunya kami melewati sebuah lintasan yang disebut ‘Turunan Setan’ atau ‘Tanjakan Setan’ untuk yang naik. Nah sebelum kami melintasi turunan setan ini, Hugo menyempatkan diri untuk membaca sebuah puisi karya Soe Hok Gie yang judulnya Mandalawangi Pangrango. Menyentuhlah ni puisi, kalo inget sama Gie yang juga suka mendaki gunung dan menghembuskan nafas terakhirnya di gunung. Kami melanjutkan perjalanan, hujan kembali turun saat kami tiba di sumber air panas dan berpapasan dengan rombongan lain yang hendak naik gunung. Aku inget, di rombongan itu ada seorang cewek yang menyempatkan buat sholat di tengah perjalanannya (heee... jadi malu, aku bahkan lupa buat sholat... sorry God! Alasan aja kalo aku bilang tempatnya nggak mendukung...hee). Di sebelah sumber air panas itu kami beristirahat sejenak, karna perjalanan harus dilanjutkan sebelum hari gelap (paling nggak sebelum gelap kami harus sudah melewati aliran air panas... soalnya jalannya curam dan licin, kebayang kalo udah gelap..wew lah..). Setelah melintasi sumber air panas yang beneranm panasnya, kami tiba di hutan montana (itu nama tipe hutan menurut klasifikasi jenis pohonnya... dijelasin loh sama Boim). Di Montana, niatnya kami mau masak ato makan dululah, tapi sayangnya ujan berasa makin deres, lagian nggak ada tempat yang lebih layak buat masak, selain toilet bekas yang bakal ngebuat nafsu makan ilang. Jadi, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Panyangcangan (sebuah pos peristirahatan yang jaraknya lumayan jauh dari montana) setelah menyiapkan senter dan memakai jas hujan. Opss..., sayang senter yang kubawa ternyata sudah nggak layak buat dipake (cahayanya nggak lebih bersinar dari kunang-kunang yang malam itu berseliweran di hutan). Aku memutuskan untuk mengikuti langkah beberapa teman yang membawa senter. Dengan cepat aku memilih berjalan di belakang Boim, Maula, dan Hugo, sedangkan Jack, Feri, Icos, Pepy, dan Putri berjalan beberapa meter di belakang. Sesekali kami berhenti, duduk-duduk di tengah gelapnya hutan yang dingin, berceloteh mengenai banyak hal yang membantu kami menghilangkan rasa lelah. Kami bersembilan mulanya berjalan secara bersamaan, tapi entah kenapa kami selalu saja terbagi menjadi dua rombongan, masing-masing ada yang di depan dan di belakang. Tapi, kalo menyinggung masalah di belakang ni, aku cukup pede buat jalan di belakang. Sampai di tengah jalan, aku tak cukup berani juga buat berada di belakang, apalagi kalo sadar rombongan kedua yang di belakangku cukup jauh jaraknya. Haaa...., akhirnya setelah perjalanan panjang menuju Panyangcangan, kami (aku, Boim, Maula, dan Hugo) bisa kembali menikmati biskuit. “Yang lebih dulu sampe di pos, masak aja dulu!” pesan Jack itu kami ingat dengan baik. Jadi sesampainya di pos Panyangcangan, kami segera mengeluarkan kompor. “Arrrrggghhh!!!” parahnya kompor dan bahan makanan ada, tapi sayang gas nya nggak ada, alias ada di tas Pepy. Tapi kita cukup beruntung, karna di pos itu juga ada sebuah rombongan yang sedang beristirahat dan baiknya mereka mau memberikan gas pada kami. Lucunya, rombongan itu ternyata sedang kebingungan mencari air bersih untuk minum, jadi kami yang mempunyai cukp air pun saling bertukar (barter) dengan mereka. Mentang-mentang di hutan, kita pun menganut sistem simbiosis mutualisme yang cukup baik. Satu setengah jam, kami menunggu teman kami yang lain (Jack, Ferio, Icos, Pepy, dan Putri) yang belum juga sampai di pos. Merasa sedikit khawatir, was-was, dan beberapa hal yang aneh mengingat jalanan yang gelap dan licin. Tapi, syukurlah mereka datang juga, salutnya lagi mereka membawa seorang wanita dan pemuda yang keadaannya tak begitu baik buat berjalan (sakitlah). Setelah beristirahat cukup, kami kembali berjalan, kali ini sudah sangat dekat dengan kaki gunung. Di Cibodas akhirnya kami mengakhiri perjalanan gunung kami, beristirahat di sebuah warung yang menyediakan tempat untuk tidur. (wew..., aku lupa nggak ngisi kotak amal di warung Bule itu...maaf Bule). Back to Bandung... Baliklah ke Bandung, kami naik angkot dengan ongkos standar (tiga rebu) untuk turun ke jalan raya tempat pemberhentian bis. Kali ini kami naik bis ekonomi tanpa AC, tapi parahnya tarif yang diberikan sama aja dengan tarif bis berAC. Aku lupa jam berapa kami meluncur dari Cibodas, tapi yang jelas kami sampai di Bandung (kampus) saat hari sore, sekitar pukul 17.00 wib. Haaa...., tiba di kampus, saatnya berbagi cerita... wkwkwkwk....serulah... kalo mau ngintip photo", ada di blognya Hugo.. http://hugorepeat20.multiply.com/photos/album/13/bukan_untuk_jadi_pendaki (belum minta ijin sama yang empunya blog ni) * Kalo ada yang kurang, salah, keliru, ato berlebihan kasih tau yaa.., semoga someday bisa naik gunung bareng lagi kawan segunung..:)) ....Disana kita belajar, mencoba menyayangi alam lebih dari biasanya... ....Mencoba bekerjasama, saling menghargai, dan lebih peduli pada sesama... ....Benar,,, disana banyak hal yang dapat diserap... ....Alam menyediakan semuanya... ....Bertahan... ....Mencoba menginstal diri dari polusi perkotaan... ....Benar kata seorang teman, bahwa disanalah tempat seseorang memperlihatkan, dan menunjukkan karakter diri yang sebenarnya...

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

Melancong lagi...

Wow.... Akhirnya kesampean juga pergi ke Surabaya sendirian, setelah mengalami beberapa pertimbangan dalam kebimbangan seorang Khansaisme.

Naik Kereta Lagi…

Perjalananku dimulai pada pukul 06.00 setelah kereta kelas ekonomi (kereta bertarif super ekonomis yang jadi transportasi andalanku). Sejenak aku membayangkan bagaimana perjalananku hari itu (27 Mei 2010), yang akan memakan waktu 18 jam. Aku sempat berfikir apakah hari itu kereta akan penuh sesak, karena tanggal 28 adalah peringatan hari raya waisak (sekaligus libur panjang). Tapi, untung saja perkiraanku meleset. Aku mengalami perjalanan yang cukup menarik di kereta ekonomi ini.

Duduk di sampingku, sebuah keluarga yang membawa balita berumur 4 tahun (seumuran dengan adiku). Dan hal yang membuatku tercengang dari gadis kecil ini adalah ukuran tubuhnya yang boleh dibilang gemuk, tapi tak heran juga karena bocah bernama Elsa itu sangat suka makan (sepanjang perjalanan bocah itu terus membeli jajan dan makan) jadi wajar aja kalo badannya tambun.

Perjalananku ternyata masih panjang saat kereta berhenti di Solo, menurunkan Elsa dan keluarganya. Kini aku sendirian di bangku penumpang yang berkapasitas 6 orang itu. Kereta terasa semakin sepi, tapi para pedagang asongan masih terus hilir mudik menjajakan barang dagangannya, sesekali ada yang menawariku, hingga akhirnya seorang pedagang buku duduk di depanku. Pria paruh baya itu menwarkan buku dagangannya padaku, tapi aku segera menggelengkan kepala. Tak lama kemudian pria itu menanyakan tujuanku.

”Surabaya!” jawabku singkat, aku tak mencoba memperpanjang obrolan itu, sampai akhirnya pria itu sibuk dengan handphone dan obrolan dengan sesama pedagang asongan yang juga ikut duduk di bangku penumpang di sebelah bangkuku.

”Parah!” Cuma itu yang ada dalam benakku saat para pedangan asongan itu saling curhat mengenai dagangannya yang tak begitu laku.

Hari itu pedagang buku bahkan hanya dapat menjual satu buah buku, dengan harga 7 ribu rupiah.

”Dengan penghasilan yang aku pikir jauh dari cukup, bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka? Mengingat saat ini kebutuhan hidup semakin mahal. Jadi mungkin ini yang menjadi alasan mengapa harga barang-barang (makanan, minuman, dll) yang dijajakan oleh para pedagang asongan mahal (jauh diatas normal).

To be continued...

[+/-] Selengkapnya...

Khansaisme's Holiday... yeah HOLIDAY...

Wow.... Akhirnya kesampean juga pergi ke Surabaya sendirian, setelah mengalami beberapa pertimbangan dalam kebimbangan seorang Khansaisme. Perjalananku dimulai pada pukul 06.00 setelah kereta kelas ekonomi (kereta bertarif super ekonomi yang jadi transportasi andalanku)

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 08 Mei 2010

Petualangan Di Negeri Terindah..

...s'moga judulnya sesuai..atau disesuaikan..:D

Ini mengenai perjalananku. Menuju Ibu kota tercinta. Orang bilang disana ramai, orang bilang disana adalah hutan belantara, orang bilang disana semua bisa terjadi, yang kaya bisa jadi miskin, bahkan yang miskin bisa jadi tambah miskin. Jakarta. Yang jelas kota itu menyimpan banyak cerita. Ingin rasanya aku membuktikan semuanya di kota itu, kota metropolitan yang menjadi sarang para koruptor. Tapi aku tak begitu peduli kata orang, yang ingin kulakukan adalah mengunjungi tempat-tempat bersejarah di negeriku.

Sampai akhirnya, tiba saat yang telah kurencanakan. Pukul 23.30 wib, aku seorang diri, melangkah menaiki sebuah kereta api kelas ekonomi, menembus malam yang lumayan dingin. Selama tak lebih dari lima jam, melalui lebih dari lima stasiun kereta api, mulai dari Kiaracondong hingga Jakarta Kota.

“Bangun Mba!” seru seorang anak kecil membangunkanku dari tidur yang tak begitu nyenyak.

“Nanti kebawa ke Daop!” lanjut anak berbaju kumal itu padaku yang masih mencoba menyesuaikan pandanganku ke sekelilingku yang sepi.

“Iyah!” sahutku menyadari bahwa semua penumpang kereta sudah turun di stasiun pemberhentian terakhir ini.

“Makasih ya!” ucapku pada bocah lelaki yang kini sedang sibuk memunguti sampah botol plastik yang banyak tercecer di kolong-kolong bangku kereta.

“Iya, sama-sama!” sahut bocah itu dengan logat Jakarta nya.

Ini pukul 04.00 wib, jantungku berdetak kencang, saat kakiku mulai melangkah memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota. Sejenak tadi aku merasa senang dan gugup, karena ini adalah kali pertamaku melakukan perjalanan ke Jakarta seorang diri. Aku pun kembali teringat berbagai kata orang yang membuatku penasaran, tapi sepertinya ada beberapa kata orang yang tak begitu benar bagiku. Setidaknya aku mengingat bahwa masih ada anak kecil, yang tadi membangunkanku, menurutku itu luar biasa.

Suara adzan berbunyi. Dari bangku peron, aku melangkah menuju mushola, membersihkan diri, dan berdoa sejenak memohon keselamatan dari-Nya. Sebelum aku melanjutkan perjalananku berkeliling kota Jakarta, membuktikan berbagai kata orang, dan melihat hal unik yang mungkin akan kutemui di ibu kota.

“Museum di sebelah mana?” tanyaku pada petugas peron.

“Terus lurus ke depan! Tapi, belum buka jam segini!” jawab pria berseragam biru dongker itu.

“Iya, makasih!” sahutku pendek.

Goes to Monumen Nasional

Aku segera keluar dari area stasiun yang lumayan ramai itu. Tujuanku yang pertama memang museum, tapi sepagi ini memang belum buka. Jadi kuputuskan saja menuju Monas, saat kulihat sebuah halte busway yang jaraknya hanya beberapa meter dari stasiun. Dengan uang dua ribu lima ratus rupiah, aku bisa sampai di Monas dengan menggunakan bus Transjakarta yang pagi itu masih sepi.

Mengingat saat itu adalah hari minggu, halaman Monas sangat ramai oleh orang yang berlari pagi. Hmmm..., Monumen Nasional, apa yang kuingat mengenai monumen kebangggaan Indonesia itu yah?

Tapi yang aku ingat pasti, monumen ini dibangun oleh Ir.Soekarno, dan ada sebongkah emas di ujung menara itu. Kta orang, kalau kita ke Jakarta, rasanya kurang afdol kalau kita tidak pergi ke Monas. Ya..., kali ini aku setuju dengan kata orang itu.

Dengan ransel hijauku, aku berkeliling area Monas yang ramai. Kata seorang pedagang air mineral, setiap minggu tempat ini selalu ramai oleh para muda-mudi, keluarga, dan para pedagang yang menjajakan dagangannya untuk menemani pengunjung berolahraga, atau yang hanya sekedar cuci mata saja.

Menapaki Sejarah di Kota Tua

Setelah matahari mulai terik, aku segera teringat kembali pada museum yang kemungkinan sudah buka. Akupun kembali menaiki busway, melalui halte harmoni, glodok, sawah besar, dan beberapa halte busway lainnya yang dengan teratur menaik turunkan penumpangnya.
Tak begitu lama untukku sampai di Museum, tapi kali ini aku harus membayar tiga ribu lima ratus sebagai pengganti tiket bus Transjakarta, mengingat hari mulai siang. Setibanya di halte Stasiun Kota, aku segera berjalan menuju Kota Tua, tempat Museum Sejarah Jakarta berada.
Selain untuk membuktikan kata orang, salah satu ketertarikanku mendatangi Jakarta adalah sejarah. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keunikan dalam hal sejarah, dan salah satunya berada di Jakarta. Sepertihalnya di kota-kota besar lainnya, sepertihalnya di Semarang, atau Bandung, Jakarta memiliki Kota Tua yang dahulu menjadi pusat kemasyarakatan.
Kota Tua di Jakarta yang dahulu bernama Batavia ini memiliki beberapa gedung dan museum yang cukup memukau mataku. Mulai dari Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah), Museum Keramik, Museum Wayang, Gedung Dasaad Musin Concern, Gedung Pos, Kafe-kafe, Pelabuhan, dll. Melihat keunikan arsitektur dan panorama Kota Tua, tak aneh jika beberapa sudut tempat itu dijadikan sebagai tempat pemotretan dan pengambilan gambar sebuah shooting.
Tapi sayang, di Kota Tua ada Dasaad Musin Concern, sebuah gedung milik konglomerat Agus Dasaad yang keadaannya sudah tidak terawat, mungkin karena status gedung itu yang tak dimasukkan dalam cagar budaya. Padahal kalau dilihat-lihat, gedung berlantai tiga itu sangat berpotensi jika diperbaiki dan difungsikan lebih baik daripada sekedar menjadi tempat biliard dan sarang penyamun.
Pasar Kota Tua Museum Sejarah Jakarta (Ms. Fatahillah)
Gedung Dasaad Musin Concern Wisata sepeda onthel di Kota Tua
Mengintip Rusa di Kebun Raya

Siang sudah mulai tiba, saat itu jam di dinding stasiun sudah menunjukkan pukul 11.30 wib. Rasanya cukup lama aku berkeliling Kota Tua. Aku pikir aku akan kembali lagi ke Bandung, tapi beberapa detik kemudian aku mengurungkan niatku saat kudengar mengenai keberangkatan kereta rel listrik (KRL) Jakarta-Bogor yang hendak berangkat. Meski diluar rencana, tapi akhirnya kuputuskan untuk membeli tiket KRL yang hanya dua ribu lima ratus rupiah. Sebuah tiket yang sangat terjangkau untuk perjalanan kelas ekonomi yang terbilang nyaman. Setelah keluar dari pusat informasi pariwisata, Kebun Raya Bogor adalah tempat tujuanku selanjutnya, tentunya setelah aku berpikir sesaat mengenai apa yang akan aku lakukan di kota hujan itu. Dari stasiun Bogor jaraknya tak begitu jauh, jadi kuputuskan untuk berjalan kaki saja di kota yang pertama kali aku pijaki itu. Sayangnya, aku sore itu tak bisa masuk ke Kebun Raya, jadi terpaksalah aku hanya melihat keindahan rusa-rusa istana itu dari celah pagar. Di sekitar Kebun Raya bahkan ada yang menjual wortel, bagi pengunjung yang ingin memberi makan rusa-rusa yang berkeliaran dengan nyamannya. Tak hanya itu, karena disana kita juga dapat berkeliling kota dengan menggunakan delman dan becak.
Rusa-rusa di Kebun Raya Bogor

Back To Bandung....

Rasanya kakiku sudah mulai protes saat aku menyadari bahwa hari sudah mulai sore. Aku bergegas bangkit dari taman Kebun Raya dan berjalan kembali menuju Stasiun Bogor. Tapi, sebelum sampai di stasiun, tiba-tiba aku tertarik untuk menyusuri sebuah pasar yang cukup ramai, hanya sekedar untuk melihat-lihat dan mencoba cemilan khas Bogor sebelum aku kembali ke Bandung. Tak begitu lama, aku menunggu kereta yang hendak mengantarku pulang, tapi sayangnya dari Bogor tak ada kereta yang langsung membawaku ke Bandung, jadi terpaksa aku singgah dahulu di Sukabumi. Dari Sukabumi, aku beralih menggunakan bis antarkota yang membawaku kembali ke Bandung tepat pada pukul 23.45 wib. Benar-benar melelahkan. Mungkin itulah yang aku rasakan, tapi sayangnya kelelahanku hari itu tak dapat tergantikan oleh apapun. Karena aku mendapatkan kesenangan dan kepuasan yang jauh lebih besar. Bagiku setiap perjalananku adalah sebuah kesenangan yang bernilai tinggi, setidaknya itu adalah anugerah akan pengalaman yang dapat menjadi pelajaran bagiku... Dalam 24 jam aku berkeliling kota, melihat setiap keunikan yang dimiliki Indonesia.
Now I can say that Indonesia is a wonderful country...

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 27 April 2010

Aku Mengeluhkanmu... Bukan Hanya Aku...

Birokrasi... Temanku menyebutnya begitu...

Yang jelas bagiku ini hanya formalitas... dan ucapan semata yang bisa dipungkiri...

Kata Mereka ini yang dinamakan ATURAN!!!

Mungkin ini kali kesekian aku dan beberapa temanku merasa kecewa dan dikecewakan oleh sebuah peraturan. Okelah kalau ada yang bilang peraturan ada untuk dilanggar!

Aku sepertinya mulai setuju dengan istilah itu, at least itu yang seharusnya kulakukan dari dulu..!

Bukan tanpa alasan, karena aku merasa kecewa dan dikecewakan oleh sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah sistem. Aku pikir aku layak menuntut hakku atas apa yang telah kulakukan, dan aku pikir mereka layak melaksanakan kewajiban mereka atas apa yang telah kulakukan. Bukannya malah melempar tanggungjawab mengenai hal yang sebenarnya sepele ini!!!

Okelah, aku enggan mengungkit apa hak yang layak kudapatkan, mungkin aku tak begitu patut dan pantas untuk menuntut ini. Tapi sayangnya, ini bukanlah kali pertamaku merasa kecewa (bukan hanya sekedar hak dan kewajiban) karena ini sudah menyangkut konsistensi.

Aku bukan manusia sempurna, tapi aku selalu berusaha agar tetap konsisten, aku bahkan pernah lalai dengan kewajibanku, dan aku pun berusaha untuk tidak ngotot menuntut hakku... Aku bersabar dengan konsekuensi yang kudapatkan...

Aku pikir aku cukup teliti, dan dapat bertindak sportif dengan lembaga ini. Tapi, ada sebagian kecil orang dari dalam sistem ini yang selalu saja tak bertindak konsisten dengan apa yang diucapkannya (mungkin aku dapat mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia).

“Manusia itu tak luput dari kekeliruan!”

Oke!!!

Aku memahaminya, dan aku mencoba mengerti. Tapi apa jadinya kalau keluputan itu sering sekali terjadi (tak hanya sekali atau dua kali).

“Aku jadi berpikir, ini lupa atau dilupakan???”

Aku bilang begini dia bilang bukan, atau dia bilang tidak, atau dia bilang tidak begitu, dan beberapa kalimat elakan lain yang kadang membuatku terdiam dan menelan ludah sebelum akhirnya tersenyum tak percaya.

“Oh, iya gitu?” shit, itu salah satu kalimat yang pernah keluar dari bibir manisnya...

“Hello!!! Kamana wae atuh???” Jangan-jangan orang ini selalu kehilangan nyawanya saat mengucapkan suatu kalimat, jadi pas dikonfirmasi lagi dia tak akan pernah ingat dengan apa yang diucapkannya.

“Ada ya orang kayak gini, dan parahnya dilestarikan pula!”

“Lupa memang kadang menjadi alasan jitu seseorang untuk berlindung dari kewajiban dan tanggung jawabnya!”

Yaa... gimana lagi kalau orang udah berkata “LUPA”... I can’t do anything...

Sebenarnya aku hanya ingin satu hal dari bagian kecil sistem ini. Cobalah untuk konsisten dengan apa yang diucapkan, cobalah untuk bertanggungjawab dengan apa yang diucapkan... apa aku harus menyediakan alat perekam setiap kali aku berbicara padamu? Apa harus selalu ada saksi jika berbicara dengan orang ini.. Pasalnya bukan hanya aku yang merasa bahwa kau adalah makhluk yang tak konsisten dengan ucapanmu... BUKAN HANYA AKU...!!!

Dan untuk seorang yang kuhormati dan mungkin menganggapku sebagai seorang kawan, ‘Saya harap anda tidak akan pernah lagi mengambil alih kesalahan seseorang... itu mengecewakan sekali! Biarlah kesalahan itu menjadi miliknya bukannya diambil alih begitu, karna itu tak akan pernah melatih kinerjanya sebagai seorang pekerja!’.

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 14 April 2010

'Kenikmatan’ Korupsi Merajalela di Negeriku

Korupsi memiliki arti pembusukan... tapi, akan lebih layak jika korupsi disebut sebagai suatu hal busuk yang penuh kenikmatan. Apakah yang menguatkan anggapan ini?

Indonesia menempati posisi cukup mentereng dalam jajaran negara terkorup. Cukup membuat kita miris dan menelan ludah untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana tidak kalau dari sebuah data Indonesia memang berada dalam posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia.

Tak heran, seperti halnya saja sekarang, rakyat di negeri ini sedang dibuat tercengang kembali dengan kasus korupsi. Korupsi, lagi-lagi korupsi...

Mengenai kasus korupsi yang memunculkan nama Gayus Tambunan ini, kalau boleh mengingat, betapa sering iklan layanan masyarakat menghimbau dan menanamkan dengan kuat bahwa ‘Orang bijak harus taat membayar pajak’, tapi apa jadinya kalau uang rakyat yang berasal dari pajak itu dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu dan menggunakannya untuk memperkaya diri mereka pribadi?

Masyarakat kecewa, mungkin begitulah sedikit gambaran akan perasaan rakyat di Indonesia. Kita menyadari bahwa masyarakat Indonesia saat ini, mayoritas masih berada dalam keadaan ekonomi menengah kebawah. Mereka tak mudah mencoba memenuhi kewajibannya dengan membayar pajak, mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan nilai (PPn), dan berbagai tetekbengek pajak yang ditetapkan dan dikeluarkan pemerintah.

Lepas dari itu, sebenarnya bibit korupsi di bumi ini mungkin sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang tak dapat lepas dari sifat tamak manusia. Merasa tak pernah cukup akan suatu hal yang dimilikinya, merasa serba kurang meski sudah diberi kekayaan lebih, atau korupsi memang suatu hal biasa yang sudah menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak kalau korupsi ini memang layak disebut sebagai rahasia umum.

Saya berani menjamin, dalam sebuah instansi perusahaan baik yang kecil ataupun yang besar, pemerintah ataupun swasta, para pelaku perusahaan itu pasti tak pernah luput dari hal yang bernama ‘korupsi’. Jika tak mempunyai buktinya, coba saja tanyakan pada hati nurani masing-masing. Dan parahnya, sebuah tindakan korupsi ini pasti dilakukan secara beramai-ramai, layaknya suatu sistem jaringan yang saling mendukung. Setiap pihak yang terlibat memiliki perannya masing-masing yang berfungsi melancarkan suatu tindakan korupsi, dan setiap pihak itu juga akan mendapatkan bagiannya masing-masing. Ibaratnya hal seperti ini adalah suatu bentuk kerjasama yang negatif. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hal yang tak diinginkan, misalnya jika ada pihak tertentu yang tidak puas dengan apa yang diterimanya, merasa kepepet, atau pihak tersebut memang masih memiliki sikap idealis yang tinggi. Maka ia akan membuka mulut, mengungkapkan tindakan-tindakan korupsi tersebut pada khalayak.

Kembali lagi pada contoh kasus Gayus Tambunan. Setelah Gayus ditangkap, maka bermunculanlah tersangka-tersangka berikutnya yang juga menerima ‘kenikmatan’ uang panas tersebut dan jelas berada dibalik kasus korupsi ini. Mulai dari petugas pajak, Jaksa, Hakim, bahkan Polisi pun ternyata ada yang terlibat dalam sistem jaringan korupsi ini. Meski akhirnya Gayus dinyatakan bebas, dan hal ini jelas menambah kecurigaan publik akan suatu kerjasama dalam tindakan korupsi yang melibatkan orang-orang penting yang enggan juga terseret dalam kubangan daftar tersangka.

Ya..., ini adalah rahasia umum. Apabila satu orang melakukan korupsi, maka untuk menutupi atau membuat tindakannya itu tetap berjalan mulus, maka mau tak mau dia harus rela berbagi ‘kenikmatan’ dengan pihak-pihak lain yang dapat menjadi ‘ancamannya’, dan begitulah seterusnya. Sebuah kerjasama yang layak mendapat acungan sepuluh jempol.

Setidaknya hal seperti ini sudah kita ketahui sejak terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto (Alm) semasa pemerintahannya. Banyak sekali pejabat yang turut terciprati ‘kenikmatan’ korupsi yang dilakukan oleh ‘Bapak Pembangunan’ ini, dan banyak sekali kesengsaraan rakyat yang dibuat oleh tindakan pemimpin orde baru yang fenomenal dengan alasan ‘sakit’nya jika hendak dilakukan pemerikasaan polisi atau sidang di pengadilan.

Meski saat ini pemeriksaan demi pemeriksaan terus dilakukan terhadap para tersangka kasus korupsi dan pencucian uang itu, tapi ujung-ujungnya mungkin kisah korupsi akan berakhir dengan hambar, dengan ending yang tak jelas, menggantung, bahkan tak ada penyelesaian yang tegas dan berarti. Karena hingga saat ini jarang sekali penyelesaian kasus korupsi yang memuaskan dapat khalayak, atau hal ini memang tak pernah menjadi konsusmi publik secara luas. Sehingga kasus-kasus besar itu menguap dengan sendirinya.

Bibit korupsi memang bertumbuh terlalu subur di negeri tercinta ini, sulit sekali menemukan keidealisan dalam diri seseorang. Mungkin boleh dibilang, selama darah manusia masih berwarnah merah dan mata manusia masih hijau dengan duit, maka ketamakan manusia akan terus bersemayam, akan terus berkembang dengan berbagai kecerdikannya yang melebihi kancil, atau loncatannya yang melebihi tupai. Sulit sekali memberantas hal ini hingga ke dasarnya, jika bukan karena kesadaran sendiri. Karena meski manusia sudah tahu bahwa korupsi adalah hal yang tak layak dilakukan dan memang tak seharusnya dilakuakan, tapi tetap saja hal itu penuh ‘kenikmatan’ yang membuat pelakunya ketagihan.

[+/-] Selengkapnya...

Help Me God...

Tuhan tolong aku... Cuma itu yang dapat kuucapkan dan kupinta dari-Nya. Aku mulai mencoba untuk realistis dan kembali berlogika untuk hal ini. Aku pikir cukup sekali saja aku terjatuh dengan memalukan, dan untuk selanjutnya jangan sampai aku terjatuh kembali karena hal yang sama, ditempat yang sama pula. Meski kakiku mulai goyah kembali, tapi please jangan biarkan aku terjatuh Tuhan. Kadang aku masih berfikir apakah ini yang terbaik dalam hidupku? Dan tak jarang pula aku masih berharap dengan indah mengenai sebuah harapan yang manis dan nyaris sempurna. Tapi, dengan cepat logikaku bergerak dan menepis harapan yang aku pikir sudah mulai kosong. Tak hanya itu, dahhulu aku masih menginginkan sebuah keajaiban dan mukjizat yang besar akan semua ini, tapi kini aku mulai realistis bahwa semuanya tak seperti apa yang kuinginkan. Tapi, kenapa hingga detik ini aku masih berkutat di kubangan ini? Meski aku menyadari akan ketakutanku yang tak bertepi, tapi kenapa aku tak mampu beranjak dari sini? Logikaku memperhitungkan bahwa aku hanya tinggal menunggu waktu yang terbaik bagiku, tapi kenapa aku tak juga bisa melihat warna lain yang dapat membawaku pergi dari kegelapan ini. Ini terlalu melelahkan, dan aku mulai merasa muak dengan semua omong kosong ini, aku pun mulai takut bahwa aku akan terjebak selamanya dalam hal ini. Apa yang kubicarakan? Ini semua mengenai perasaanku yang berlebihan terhadap makhluk ciptaan-Nya. Ya Allah..., bantu aku melupakannya... kuikhlaskan untuk pergi jika ini yang terbaik bagi kami...

[+/-] Selengkapnya...

Berpuitis

Hari ini kembali terasa menyesakkan saja. Hari ini kembali membingungkan saja. Hari ini kembali aku menguntai harapan yang sempat kuputuskan untuk kuakhiri. Namun sayang, aku tak mampu mengakhirinya, aku tak mampu bertahan untuk hal ini. Betapa lemahnya seorang aku dalam menghadapi hal seperti ini, aku malu. Kembali aku menghujat, kembali aku bertanya, dan kembali lagi aku menangis untuk hal yang belum juga kumengerti. Meski aku sering bertanya apakah kau mengerti, tapi aku sendiri sejujurnya tak mengerti, dan aku ingin mengerti. *** Cukup baikkah aku berpuitis? Entahlah, aku tak begitu dapat mengerti sebuah puisi dan sastra, meski beberapa orang mengatakan bahwa aku penganut sastra yang lumayan, tapi aku sendiri tak mengerti. Karena yang aku tau hanyalah bagaimana mengungkapkan suatu hal dengan baik, meski ukuran baik terlalu relatif bagi sebagian orang. Suatu ketika saat aku merasa hatiku sakit dan kecewa, otakku pun tiba-tiba menjadi cukup lihai merangkai kata. Pernah suatu siang aku hampir dibuat menangis oleh seorang pria (mungkin aku sudah layak menyebutmu sebagai seorang pria bukan). Ingin sekali siang itu aku mengeluarkan jurus karateku yang sempat diajarkan ayah padaku, ingin sekali aku mendobrak pintu yang menghalangiku, dan ingin sekali aku menghantamkan kepalanku di tubuh pria itu. Tapi sayang, aku tak dapat melakukannya, hatiku tak mengijinkannya. Aku hanya menghela dan menghembuskan nafasku untuk mengatur kesabaranku. Sampai akhirnya, dengan penuh ketenangan aku dapat mengucapkan sebuah kalimat puitis (I think) di hadapan pria itu, lebih tepatnya kalimat puitis yang penuh sindiran. Mungkin kata-kataku terasa lebih jauh diterima oleh hatinya daripada aku mengeluarkan tenagaku untuk menghajarnya. Benar memang sebuah pepatah yang mengatakan bahwa lidah terkadang lebih tajam dari pada pedang. Yeah... I believe it... karena banyak sekali hal besar yang terjadi karena lidah, karena ucapan, dan karena perkataan... So...keep Ur Tongue...

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 15 Maret 2010

Keegoisanku Tentang CINTA...

Beberapa menit tadi aku membaca sebuah tulisan dalam blog yang ku follow, lucu rasanya membaca kalimat demiRata Penuh kalimat yang hampir semuanya mengagungkan cinta, memuntahkan masalah cintanya dalam tulisan yang cukup menarik. Hmmmmm,,,, rasanya aku jadi tertarik buat mengingatkan Khansaisme mengenai sebuah kisah percintaan yang lama tak kuumbar. Cintaku masih yang dulu, masih tentang 'Patung Lilin'. Tentang kebisuannya, keanehannya, dan semua hal yang membuatku makin penasaran. Hingga detik ini pun aku tetap begitu, tetap seperti dulu, tetap melihatnya, tetap bodoh, dan terdiam di hadapannya. Mungkin memang benar, kami berdua sama-sama mengalami 'Autismelove Acut'... Hanya diam dalam keadaan cinta kami yang membisu. Fiuuuhhhh,,, never mind lah,,, aku nggak begitu pandai menulis kalimat puitis ataupun segala hal yang berbau cINtA... That's very" difficult to me,,,very freak.... Tapi,buat beberapa orang CINTA itu adalah hal menakjubkan yang diagung-agungkan... But for me LOve's Freak...may be....aku berniat memasukan Cinta dalam Tujuh Keajaiban Dunia...hahaha.... Mungkin karena aku nggak begitu pandai mengungkapkan cintaku dan aku juga nggak begitu tertarik buat mendalami masalah CInta,,,yang penuh dengan keanehan... yang kadang nggak logis, nggak realistis,,,terparahnya adalah nggak rasional... Payahnya aku hanya dapat menguatarakan keegoisanku tentang cinta....paling nggak aku memiliki Kasih buat sesamaku.... I hope...^o^

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 23 Februari 2010

Ini Jawabanku Untuk Pertanyaan Yang Akan Muncul Setelah Hari Ini

Maaf...
Cuma itu satu kata yang dapat kuungkapkan untuk orang-orang yang telah kubuat kecewa. Mungkin aku memang terlalu mengecewakan bagimu, bagi kalian, dan bagi mereka. Tapi aku tak bisa lagi membohongi diriku, aku tak bisa lagi bersikap manis seperti yang kalian inginkan. Mungkin aku terlalu egois, terlalu, menyedihkan, dan terlalu tak menghargai suatu hal. Tapi aku lebih takut jika aku terlalu munafik menghadapi diriku sendiri, aku takut aku hanya membohongi diriku, aku takut aku tak jujur pada diriku sendiri. Sampai detik ini, aku rasakan aku terlalu kotor,,, terlalu tak layak, dan banyak lagi hal terlalu yang membuatku mengambil keputusan ini. Aku ingin membuka mataku akan dunia yang kutempati ini, aku ingin lebih banyak belajar, dan mempersiapakan diriku menjadi lebih baik untuk seseorang yang telah menungguku, untuk seseorang yang akan menemaniku di akhir nafas hidupku, untuk seseorang yang kiranya akan menerima diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan mungkin kelebihanku. Aku tak ingin lagi mengecewakannya, aku tak ingin bercela dimatanya (meski aku tak bisa), aku ingin memperbaiki semuanya mulai detik ini. Untuk itu, jangan bertanya padaku mengapa, apa, kemana, dimana, bagaimana...dan segudang kalimat tanya yang enggan kujawab. Mungkin tulisan ini akan membantuku menjawab semua pertanyaan yang pasti akan muncul di hari esok, lusa, lusanya lusa,,,atau waktu-waktu setelah hari ini.

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 16 Februari 2010

Kereta Ekonomi Berlanjut...

Tut...Tut...Tut... Suara kereta api masih menderu, dan aku masih duduk dengan arah berlawanan dengan laju kereta itu...Hmmmmm,,,entah jam berapa ini??? Aku mulai nggak nyambung dengan arlojiku yang masih setia menggantung. Sesekali aku menguap dan memejamkan mata, sepertinya tidur ayamku mulai menghantui lagi. Opsss,,, selembar amplom mengagetkanku. Seorang anak kecil menyodorkan selembar amplop berukuran tak lebih dari 6x15 cm, amplop yang cukup kumal jika disebut sebagai amplop berwarna putih. Aku segera mengambil amplop yang tergeletak di lengan kiriku, ada yang menarik di balik amplop itu. Ada sebuah tulisan yang menggelitikku. Tenang, aku masih ingat beberapa kalimat yang tertulis dengan huruf sambung itu, begini bunyinya. "Ibu-ibu, bapak-bapak, kakak-kakak. Mohon sedekahnya, buat membantu saya yang putus sekolah" ... Ikhsan... What???? ku hanya mengernyitkan dahi melihat urutan tulisan yang ditulis dengan huruf sambung khas orang dewasa. Modus apa ini?... menggunakan belas kasihan untuk seorang anak kecil, yang diutus oleh orang yang dewasa...cih!!! Mengeksploitasi anak-anak ni...Tapi, buat apa aku menggerutu, toh aku tak berniat mengisikan uang pada amplop yang kini hanya kugeletakkan saja di depan meja kecilku. Terlalu pelit, atau terlalu banyak berfikir mengenai 'apa manfaatnya uang yang kuberikan itu'... Mungkin ada seseorang yang pernah berkata padaku, kalo kita mau memberikan bantuan pada seseorang, ya berikanlah dengan ikhlas, jangan memikirkan hal yang negatif tentang orang itu...maka dengan ijin Allah uang itu akan bermanfaat juga buat orang yang diberi. Nah, kalo sudah begini susah ni urusannya. dari pada mikir negatif dan ujung-ujungnya nggak ikhlas, mendingan ga' usah ngasih sekalian...(Pemikiran dangkal seorang Khansaisme) Whatever lah,, anak-anak itu hanya korban dari keadaan, dan kembali lagi...semuanya itu demi perut...perut...dan perut... Jadi inget bunyi salah satu pasal di UUD RI 1945,,,"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".... Sepertinya aku tahu kalo itu semua bulshit...a.k.a omong kosong belaka...a.k.a...pemikiran ideal yang sulit atau bahkan enggan untuk direalisasikan...malah kalo mau dibilang ni,,,beberapa waktu lalu di sebuah berita televisi, ada sebuah pengakuan seorang anak jalanan yang ditangkap oleh sebuah lembaga sosial (satpol pp) yang mengurusi rehabilitasi anak-anak jalanan. Mereka mengakui bahwa disana bukannya menjadi lebih baik, justru malah menjadi lebih kacau dengan berbagai perlakuan kasar yang diterima dan dilakukan oleh sesama penghuni panti rehab dan juga keterkungkungan yang diberlakukan di lembaga itu. Miris...Pisunlah... Berbeda dengan pengakuan seorang mantan anak jalanan yang malah kehidupannya menjadi lebih baik saat mereka berada di sebuah rumah singgah (rumah singgah ini bukan milik pemerintah)... Hal ini membuktikan bahwa pemerintah kurang berhasil memelihara mereka,,,justru pemeliharaan dari sesama malah lebih berhasil... Opsss....kok jadi ngelantur kesini yak,,,,ckckck... Tak apalah,,,buat kasih tau juga mengenai bagaimana pemerintah memelihara rakyatnya yang heterogen ini... Hmmm,,,sepertinya perutku terlalu sakit untuk melanjutkan tulisan ini...ini pasti karena makanan pedas yang akhir" ini membuat ususku perih,,,melilit dan berteriak takkaruan.... bentar yak,,,di pause dulu...

[+/-] Selengkapnya...

Ini Kereta Ekonomi,,,Semua Dapat Ditemui Disini

06022010 12.30 wib
Sedikit membuatku mengerutkan dahi saat memasuki area stasiun. Tapi, aku pikir ini akan menjadi hari penuh petualangan,,ehhhmmmm sedikit petualangan tepatnya. Loket pembelian tiket yang sudah mulai sepi saat terdengar suara yang menggema keluar dari speaker yang dipasang di sepanjang koridor stasiun. Speaker itu meneriakkan tentang kedatangan kereta kelas ekonomi yang berangkat dari Jakarta menuju Kroya. Ops...sebentar lagi aku akan terlambat...(pikirku). Dengan segera aku menghampiri lubang loket yang dijaga oleh seorang wanita berjilbab, wanita itu menanyakan tujuanku dan aku pun segera menjawab 'Kroya', tanpa menunggu lama wanita itu menyodorkan selembar tiket berwarna peach, sembari berkata 'Dua puluh ribu'. Ok..., aku segera mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan dan pergi meninggalkan loket. "Pelayanan yang biasa saja!" batinku sembari menyusuri koridor stasiun, menuju rel kereta api di jalur 3. Di sudut koridor, sebelum aku berbelok ke jalur 3, seorang gadis tomboy menatapku tanpa berkedip. "Ada yang salah denganku?" tanyaku heran sembari membalas tatapan gadis itu padaku. Di sebelah gadis tomboy itu, akhirnya aku menyadari ada seorang gadis yang lebih feminim yang masih mengenakan seragam SMA. Gadis itu pun turut menatapku yang siang itu hanya mengenakan kaos hitam, celana pendek hitam, dan sebuah sepatu kanvas yang sengaja kuinjak bagian tumitnya. "Wah,,dilema dunia yang hampir kiamat!" celetukku dalam hati menyaksikan kedua makhluk itu. Mungkin aku terlalu mengambil kesimpulan sepihak, tapi tingkah dua gadis itu mengingatkanku pada problematika dunia yang menjadi salah-satu pertanda kiamat. "Ingat cerita Nabi Lut?...I think like this..." 12.35 wib
Perjalananku berlanjut, tanpa menunggu lama sebuah kereta api datang dari arah barat stasiun, memasuki gerbang stasiun dan siap memuat puluhan penumpang yang sudah menunggunya di sepanjang jalur pemberangkatan. Dengan tas ransel yang kubawa, aku tak kesulitan untuk menaiki kereta api, dan memang tak pernah. Pertama memasuki kereta api yang cukup longgar itu, aku disambut dengan aroma toilet yang tak begitu mengenakkan... seperti layaknya aroma wc umum di terminal bus antar kota. Gerbong terakhir ke tiga, aku memilih memasuki gerbong itu. Dan karena aku bukan tipe pemilih yang rumit, aku langsung saja duduk di bangku yang kosong, sepertinya tak ada penghuninya. Mungkin terbayang jika aku berjalan menyusuri gerbong kereta api hanya untuk memilih tempat duduk favorit. It's namanya membuang waktu. Aku duduk menghadap ke barat, dan itu artinya aku duduk mundur berlawanan dengan arah kereta, dan bagi sebagian orang itu sangat tidak mengenakkan, karena sebagian orang itu akan merasa pusing jika terduduk mundur dalam kendaraan.Tapi, beruntung bagiku, aku tak mengalami hal itu. Kereta terdiam di stasiun selama tak lebih dari 10 menit. Aku hanya diam, menatap ke luar jendela. Di seberang kereta yang kunaiki, aku melihat kedua cewek yang tadi menatapku itu masih duduk berduaan di sudut koridor stasiun. "Dasar!" seruku lirih, aku hanya menggelengkan kepala dan mengalihkan pandanganku pada tiga makhluk yang sepertinya tak kalah menarik dengan dua gadis itu. Aku bingung menyebut ketiga makhluk itu. Tiga orang pria berbadan kekar, dengan kulitnya yang tak begitu putih, malah boleh dibilang cowok-cowok itu cukup macho dan berotot, andai saja mereka bertiga tak mengenakan rok mini dan dandanan menornya yang menegaskan bahwa mereka adalah 'Banci'. "Tiga banci kaleng!" akhirnya itulah sebutan yang kumiliki untuk tiga makhluk itu, saat kulihat sebuah kecrekan tutup botol yang masing-masing ada di tangan makhluk itu. Fenomena macam apa ini??? Demi tuntutan perut, atau mereka memang seorang waria??? Kalo boleh menghakimi, mungkin aku akan berkata bahwa 'mereka masih memiliki potensi untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik, menjadi tukang bangunan, atau menjadi kuli panggul, daripada menjadi waria, banci kaleng, atau hal semacamnya..." Miris sekali melihat seorang pria yang harusnya bersikap selayaknya pria, ini justru berjalan melenggak-lenggok, memamerkan lekuk tubuhnya yang kekar, lengkap dengan polesan bedak dan lipstik yang super menor. Ini fenomena yang biasa, semua terjadi karena tuntutan ekonomi, tuntutan untuk tak mengemis, tuntutan untuk memenuhi isi perut. Aku hanya bisa menelan ludah, merasa prihatin, bersimpati tanpa dapat memberikan empati bagi mereka. Speaker di stasiun kembali bergema, mengingatkan kereta kelas ekonomi itu untuk beranjak pergi. Aku mengorek saku celana pendekku, meraih selembar tiket yang tadi kumasukkan tanpa aturan. Waktu keberangkatan kereta api cukup tepat waktu, dan kalo boleh kubilang sangat tepat waktu, yaitu pukul 12.45 wib. 12.45 wib
Meyakinkan diri bahwa aku akan pulang ke rumah, ke kampung halamanku, ke kota yang berada di pesisir pantai utara jawa. Setidaknya aku merasa tenang kalo aku merasa seyakin ini untuk bepergian. Tak seperti dua bulan lalu, karena merasa ragu dan bingung, aku pun merelakan tiket kereta apiku hangus tak berguna dan memilih untuk turun dari kereta untuk membatalkan niat kepergianku. Kini aku duduk di sudut gerbong, kusri yang kududuki berhadapan dengan kursi lain, kursi yang lebih panjang dari kursi yang kududuki, dan kursi di depanku itu memuat dua orang pria paruh baya. Seorang pria naik dari stasiun yang sama denganku dan dia membawa sebuah sepeda kecil untuk ukuran anak 4 tahun. Sedangkan pria yang satu yang lebih tua, telah berada di kereta lebih lama, mungkin dia naik dari sebuah stasiun yang ada di Jakarta. Pria yang lebih tua bertanya pada pria di sebelahnya yang baru meletakkan sepeda kecilnya di samping kursi yang kududuki. "Baru?" Tanya pria yang rambutnya sudah setengah botak. "Ia!" Jawab pria paruh baya yang mengenakan sebuah celana panjang berwarna coklat dengan kaos berwarna senada. "Berapa?" Lanjut Pria yang lebih tua dengan logat Jawa Tengah yang cukup kental. "Murah! Buatan China!" Sahut pria yang tak tampak membawa tas atau barang bawaan lain selain sepeda kecilnya itu. "Owh! Tapi lumayanlah!" "Ia, kalau buatan sendiri mahal!" jawab pria berambut ikal dengan senyumannya yang ramah. Aku terdiam, menyaksikan percakapan dua pria di sebrang kursiku. Otakku langsung bekerja dengan cepat, mengingat sebuah artikel yang kuajukan pada sebuah mata kuliah beberapa minggu lalu. Dalam artikel itu aku membahas mengenai beberapa dampak yang terjadi akibat perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dan China. Mungkin yang aku saksikan ini adalah salah satu dampak kecil dari perjanjian itu. Mengingat produk China yang membanjiri pasaran Indonesia ini memiliki sebuah keunggulan yang sulit dikalahkan. Harganya yang super duper murah, jelas menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas konsumtif, menginginkan barang bagus, harga murah, dan kadang tak begitu peduli dengan kualitasnya. dan produk China mampu memenuhi semua kriteria itu. Yeah,,, sepertinya produk China akan semakin menggila di Indonesia. 13.15 wib
Otakku terlalu lelah melihat semua hal yang kutemui, mungkin jika aku terus bertahan membuka mata dan telingaku, aku akan merasa mual karena puluhan informasi yang masuk secara bertubi-tubi. Karena itu, aku memilih untuk memejamkan mataku, dan mencoba tak mendengarkan puluhan orang yang berbicara secara bersamaan. Aku tertidur sejenak, meski aku yakin kalo itu bukanlah tidur yang nyaman. Mengingat kata orang, kereta api kelas ekonomi adalah kereta yang rawan dengan makhluk bernama 'PENCOPET', so...aku terus memeluk ransel hijau army ku dan meyakinkan diriku bahwa semua barang bawaanku berada pada posisi yang aman dan tak mungkin terjangkau oleh tangan jahil pencopet. Oia, di kendaraan umum seperti ini aku selalu berharap tak pernah ada orang yang mengajakku berbicara, dan mengobrol, entahlah...bukannya karena aku sombong atau apa. Tapi aku paling tidak nyaman berbicara dengan orang yang baru kukenal, aku pun malas untuk berbasa-basi memulai sebuah percakapan yang kadang tak jelas juntrungannya. Mungkin itu hal negatif yang terus kupelihara, dan sebaliknya, aku lebih senang diam dengan diriku, memperhatikan keadaan sekitarku dan merekamnya dalam memoriku.Mungkin Karena itulah aku paling tidak senang diajak ngobrol oleh orang yang baru kukenal dan memulai pembicaraan, karena itu sangat mengganggu konsentrasiku untuk memperhatikan orang lain. 14.05 wib
Waktu terasa cepat berlalu,setelah menembus pegunungan yang mengitari Bandung, kereta akhirnya sampai di stasiun Cibatu, yang berada di kabupaten Garut. Aku terbangun dari tidur ayamku,,kulihat pria paruh baya yang lebih muda itu berpamitan kepada pria yang lebih tua, mereka menggunakan salam seperti pria-pria yang biasa kulihat (Hmmm,,, setidaknya pria berbeda dengan wanita yang penuh dengan senyuman dan basa-basi). Pria paruh baya itu mengangkat sepedanya dan segera keluar dari kereta. Rasanya semakin longgar saja kereta yang masih akan melanjutkan pearjalanannya ke Jawa Tengah. Meski suara riuh pedagang asongan masih terus ada, bahkan semakin ramai, tapi so far...dapat membuat nyamanlah. Tapi ada yang selalu kupikirkan mengenai pedagang asongan itu, mereka selalu mondar-mandir dari gerbong yang satu ke gerbong yang satunya lagi, dan bolak-balik dari depan ke belakang, menawari penumpang satu per satu, di kanan dan kiri... selalu saja begitu. Meski banyak penumpang yang sudah ditawari dan menolaknya, tapi pedagang-pedagang asongan itu terus saja menawarinya lagi...lagi...dan lagi... Apa mereka mempunyai ingatan yang rendah untuk mengingat penumpang yang telah menolaknya, atau mereka tak mengerti.. Inilah dilema pada pedagang asongan yang kadang dipandang remeh, bahkan tak dipandang sama sekali oleh sebagian orang, mereka kadang dianggap pengganggu kenyamanan saja. Tapi, mungkin ada satu hal yang harus dianggap dan dipandang mengenai para pedangang asongan itu, bahwa mereka adalah tipe-tipe manusia pekerja yang tak pernah putus asa. Mempunyai kesabaran yang cukup baik (meski tak semuanya) untuk menghadapi para penumpang kereta api yang angkuh, sombong, dan merasa diri mereka memiliki derajat lebih tinggi dari para pedagang asongan itu (ini juga tak semuanya...). Ceritaku masih berlanjut.... anggap saja aku mengajak kalian semua mudik bersamaku...hehe...Aku masih memiliki cerita mengenai bocah lelaki bernama Ikhsan...Si Bongkok yang melintas,,,kisah 3 Banci kaleng yang kembali terulang...Pengemis ngesot...Lagu Wali dan Tukang Telur Asin.... Haha...banyak kejadian yang aneh,,,lucu,,,dan segudang pertanyaan mengenai kereta api kelas ekonomi...

[+/-] Selengkapnya...