Selasa, 29 November 2011

HIV/AIDS Bukan Akhir Dari Segalanya

Sendiri, terkucilkan, dicerca, dan dicemooh. Itulah hal-hal yang terlintas dalam benak saya mengenai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Mereka yang hidup dengan "pergaulan bebas” (free sex, narkoba, homoseksual). Ya, itu memang tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga 100% benar, karena selain hal tersebut, masih banyak cara penularan HIV/AIDS yang bahkan jauh dari istilah “pergaulan bebas”. Mungkin terdengar aneh, karena meski menyadarinya, tapi tak ada sedikit pun usaha dan kontribusi yang saya lakukan untuk menghapus kesendirian mereka yang terkucilkan, tercerca, dan dicemooh masyarakat. Secara singkatnya saya menyadari namun tak beraksi. Setidaknya hal itu terjadi sebelum akhir tahun 2010.

Saya ingat betul, saat itu di bulan Desember 2010. Dalam sebuah launching novel seorang musisi beraliran underground di Bandung. Bisa dibayangkan bukan, sebuah musik beraliran metal yang sebenarnya sama sekali tidak membuat saya tertarik untuk mendengarkannya. Tapi entah mengapa saya mau saja untuk memenuhi ajakan seorang teman untuk datang pada acara yang dihadiri oleh pemuda-pemuda punk itu. Mungkin satu-satunya alasan adalah karena saya mencintai buku, dan saya suka membaca. Sampai akhirnya seusai acara saya berkenalan dengan seorang vokalis band underground. Dalam sesi ini saya cukup antusias dan penasaran dengan pemuda berusia 28 tahun yang badannya dipenuhi hiasan tato.

Perkenalan diakhir tahun dengan pemuda itu seolah membuat beberapa pemikiran dalam otak saya berubah. Pemuda dengan badan penuh tato, rambut berjambul, dan gaya bicaranya yang cukup apa adanya atau boleh dibilang ceplas ceplos itu adalah Ginan. Dimata saya dia adalah seorang pemuda penuh semangat yang benar-benar membuat saya mengernyitkan dahi sebelum akhirnya berkata “WOW!” dan bahkan tak pernah membuat saya berpikir bahwa dia adalah seorang dengan HIV Positif.

Sejak hari itu saya mulai mencari informasi mengenai siapa sebenarnya pemuda itu, semangat seorang Ginan seolah menular pada saya. Dengan berbekal pada masa lalu yang boleh dibilang “suram”, kini dia tercatat sebagai salah satu pendiri Rumah Cemara, sebuah komunitas “bantuan sebaya” yang bergerak dalam hal rehabilitasi dan Orang Dengan HIV/AIDS di Jawa Barat. Selain itu, untuk mensosialisasikan HIV/AIDS pada masyarakat pun ditunjukkan dengan banyak prestasi dalam bidang sepakbola yang diukir oleh Ginan bersama Rumah Cemara nya.

Diawal tahun 2011 ada kabar yang saya terima dari Rumah Cemara mengenai tim sepakbolanya. Prestasi mereka akhirnya menarik perhatian panitia sebuah ajang pertandingan sepakbola dunia di Paris yang bertajuk Homeless World Cup.

“Wow, itu amat menakjubkan!” ungkap saya sembari mencoba mendatangi markas Ginan dan kawan-kawannya di daerah Geger Kalong Bandung, untuk mengkonfirmasi kebenaran berita itu.

Tapi sayang, meski prestasi itu memang cukup membanggakan, mengingat Rumah Cemara menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia, tapi tim sepakbola itu tidak memperoleh dukungan finansial dari pemerintah Indonesia.

Miris!

Itulah hal yang kemudian muncul dalam benak saya. Saya pun kembali mengingat mengenai bagaimana pandangan masyarakat di Indonesia saat ini, termasuk saya yang memang masih sangat kental dengan stigma negatif terhadap ODHA. Kita menyadari betul hal itu, namun sangat minim tindakan nyata kita untuk membantu menghilangkan stigma itu.

Semangat dari Ginan dan kawan-kawannya untuk terus berusaha mencari cara agar mereka dapat memenuhi undangan pertandingan di Paris itu amat membuat saya tercengang. Mulai dari pengajuan proposal kepada beberapa instansi pemerintah yang hanya menghasilkan “Doa dan Restu”, penggalangan koin kepedulian, konser amal, pameran foto, dan lain sebagainya itu layak mendapat acungan jempol.

Melihat dan menyadari itu, rasanya sangat tidak berguna jika saya yang sudah berpikir bahwa “Kesadaran tanpa aksi itu sama dengan bohong!”.

“Andai saya seorang milyuner, mungkin akan saya tanggung semua finansial yang dibutuhkan oleh mereka.” tapi sayangnya saya jelas bukan seorang milyuner, melainkan hanya seorang mahasiswi yang hobi menulis dan membaca saja.

Dengan penuh semangat, akhirnya saya memutuskan untuk membuat sebuah tulisan yang kiranya dapat mengubah cara pandang masyarakat, memberitahu pada khalayak bahwa ada sebuah semangat besar dari mereka yang selama ini dikucilkan, dan bahkan hanya dianggap sampah masyarakat. Ada pergerakan untuk sebuah perubahan dan upaya untuk menghapuskan stigma negatif terhadap ODHA melalui sepakbola, mereka bukanlah manusia-manusia yang harus dihindari, dan pembuktian bahwa HIV/AIDS bukanlah akhir dari segala-galanya.

Ada rasa senang saat mendapati tulisan saya dimuat dalam sebuah media massa, dan beberapa teman yang semula tak tahu tentang prestasi dari komunitas Rumah Cemara, kini menjadi tahu dan mulai menanyakan atau mencari tahu mengenai apa itu HIV/AIDS, cara penyebarannya, dan apa sih yang dapat kita lakukan untuk membantu menghapus stigma negatif pada ODHA.

Kecil dan sedikit, mungkin itulah hal yang dapat saya lakukan untuk mewujudkan bagaimana kepedulian saya terhadap ODHA. Bahkan saya tak bisa membantu secara finansial.

“Sudah santai saja, nanti juga ada jalannya kalau memang kita ditakdirkan untuk berlomba di Paris!” ungkap salah seorang teman pada saya yang saat itu merasa tak begitu dapat membantu banyak untuk komunitas itu.

Semangat seolah kembali menyeruak jika saya berkunjung dan berbincang dengan teman-teman di komunitas. Terlebih jika melihat tim sepakbola Rumah Cemara berlatih dan bertanding di lapangan. Mereka sama sekali tak pernah menunjukkan bahwa mereka adalah ODHA yang selama ini dicap “Tak berumur panjang” dan “Berfisik lemah”.

“Mereka saja penuh semangat, kenapa saya tidak!” tegasku pada diri sendiri saat teringat bagaimana perjuangan Ginan dan teman-temannya untuk tetap berprestasi melawan stigma negatif.

“Saya tahu, masih banyak cara untuk membantu mereka!” Pada bulan Mei 2011, saya iseng melihat sebuah website tentang festival film dokumenter di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta.

Senyum kembali mengembang, semangat sepertinya kembali membuncah saat mengetahui festival film dokumenter yang tahun 2011 ini mengangkat tema “Bagimu Indonesia”. Dengan ide dasar semangat dan prestasi ODHA yang tidak mendapat dukungan penuh dari pemerintah Indonesia, meski mereka akan bertanding membawa nama Indonesia di kancah internasional itulah saya mengajukan proposal pembuatan film dokumenter.

Tujuan utama saya bukanlah untuk menjadi pemenang, mengingat pengalaman saya di dunia film amatlah sedikit, tapi yang utama adalah memberitahu masyarakat bahwa Orang Dengan HIV/AIDS tidak harus dihindari, dicerca dengan tatapan nyinyir, dan cemoohan. Bahwa mereka bisa loh membuat prestasi bagi Indonesia, meski pemerintah Indonesia sendiri belum mewujudkan secara nyata kepeduliannya.

Saya bersyukur bahwa saya dapat mempresentasikan proposal saya pada juri, meski benar saja tidak lolos menjadi salah seorang pemenang. Tapi yang cukup menegangkan adalah saat ada seorang juri yang terus berpendapat bahwa pertandingan sepakbola yang dilakukan oleh ODHA sebagai salah satu media sosialisasi itu justru akan menjadi media penularan virus HIV/AIDS.

“Bagaimana jika terluka atau tergores, berdarah, dan menempel atau kontak fisik lainnya. Hal itu amat konyol jika orang-orang sehat yang turut bertanding melawan tim ODHA itu tertular.” Ungkap salah seorang juri pada saya saat interview proposal film dokumenter beberapa bulan lalu itu. Dan saat itu rasanya jantung ini berdegup kencang, meski banyak argumen yang terlontar, tapi saya kembali gigit jari bahwa saya belum berhasil meyakinkan seorang juri itu mengenai ODHA yang tak perlu dihindari.

Setelah usai kompetisi film itu, saya kembali member kabar kepada Ginan dan teman-temannya bahwa saya belum menang untuk membawa Rumah Cemara.

“Do the best and let God do the rest!” kalimat itu terlontar dari Ginan. Saya pun kembali bersyukur bahwa setidaknya saya sudah bisa sedikit berargumen menyuarakan keinginan saya untuk turut serta menghapuskan stigma negatif terhadap ODHA.

Selang beberapa minggu dari hasil festival film itu, saya mendapat kabar dari seorang teman bernama Kheista di Rumah Cemara, ia memberitahu bahwa ada sebuah variety show yang akan menjadikan tim sepakbola Rumah Cemara sebagai bintang tamu mereka. Rasa senang kembali membuncah, terlebih saat tahu bahwa dalam variety show yang penuh motivasi itu Ginan dan tim sepakbolanya mendapatkan bantuan dana finansial untuk melaju ke pertandingan di Paris.

“Tuhan selalu membuka jalan untuk setiap umatnya yang mau berusaha.” Itulah satu-satunya hal yang hingga kini saya amat percayai.

Usaha menghapus stigma negatif terhadap ODHA terus terngiang dan membutuhkan aksi yang benar-benar nyata, memulainya dari hal yang kecil, dari hal yang mampu kita lakukan, dan memulai dari diri sendiri itulah yang penting, karena saya hanya mampu menulis, maka saya pun menulis.

Virus HIV/AIDS memang harus dihindari, tapi bukan berarti kita menghindari Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) itu, dan HIV/AIDS bukanlah akhir dari segala-galanya. Respect! Semangat!!!

**** khansakuu Following Print Posting Print FOTO: dokumentasi Rumah Cemara dan Eddy Sukmana Bandung-Jawa Barat

2 komentar:

  1. Kami dari Admin GoVlog, perlu meminta data diri Anda yang mengikuti GoVlog AIDS. Data diri ini kami pergunakan untuk pemberitahuan jika Anda terpilih menjadi 10 besar.

    Nama Lengkap:
    Jenis Kelamin:
    No tlp/HP (yang bisa dihubungi):
    Email:
    Yahoo Messenger:
    Alamat lengkap:
    Pekerjaan:
    Link posting Blog GoVlog AIDS:

    Mohon data diri Anda dikirim ke email tommy.adi@vivanews.com

    Terimakasih

    BalasHapus