Kamis, 17 Juni 2010
Cerita ke Gunung Gede
Selasa, 08 Juni 2010
Melancong lagi...
Wow....
Akhirnya kesampean juga pergi ke
Naik Kereta Lagi…
Perjalananku dimulai pada pukul 06.00 setelah kereta kelas ekonomi (kereta bertarif super ekonomis yang jadi transportasi andalanku). Sejenak aku membayangkan bagaimana perjalananku hari itu (27 Mei 2010), yang akan memakan waktu 18 jam. Aku sempat berfikir apakah hari itu kereta akan penuh sesak, karena tanggal 28 adalah peringatan hari raya waisak (sekaligus libur panjang). Tapi, untung saja perkiraanku meleset. Aku mengalami perjalanan yang cukup menarik di kereta ekonomi ini.
Duduk di sampingku, sebuah keluarga yang membawa balita berumur 4 tahun (seumuran dengan adiku). Dan hal yang membuatku tercengang dari gadis kecil ini adalah ukuran tubuhnya yang boleh dibilang gemuk, tapi tak heran juga karena bocah bernama Elsa itu sangat suka makan (sepanjang perjalanan bocah itu terus membeli jajan dan makan) jadi wajar aja kalo badannya tambun.
Perjalananku ternyata masih panjang saat kereta berhenti di Solo, menurunkan Elsa dan keluarganya. Kini aku sendirian di bangku penumpang yang berkapasitas 6 orang itu. Kereta terasa semakin sepi, tapi para pedagang asongan masih terus hilir mudik menjajakan barang dagangannya, sesekali ada yang menawariku, hingga akhirnya seorang pedagang buku duduk di depanku. Pria paruh baya itu menwarkan buku dagangannya padaku, tapi aku segera menggelengkan kepala. Tak lama kemudian pria itu menanyakan tujuanku.
”Surabaya!” jawabku singkat, aku tak mencoba memperpanjang obrolan itu, sampai akhirnya pria itu sibuk dengan handphone dan obrolan dengan sesama pedagang asongan yang juga ikut duduk di bangku penumpang di sebelah bangkuku.
”Parah!” Cuma itu yang ada dalam benakku saat para pedangan asongan itu saling curhat mengenai dagangannya yang tak begitu laku.
Hari itu pedagang buku bahkan hanya dapat menjual satu buah buku, dengan harga 7 ribu rupiah.
”Dengan penghasilan yang aku pikir jauh dari cukup, bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka? Mengingat saat ini kebutuhan hidup semakin mahal. Jadi mungkin ini yang menjadi alasan mengapa harga barang-barang (makanan, minuman, dll) yang dijajakan oleh para pedagang asongan mahal (jauh diatas normal).
Khansaisme's Holiday... yeah HOLIDAY...
Sabtu, 08 Mei 2010
Petualangan Di Negeri Terindah..
Ini mengenai perjalananku. Menuju Ibu kota tercinta. Orang bilang disana ramai, orang bilang disana adalah hutan belantara, orang bilang disana semua bisa terjadi, yang kaya bisa jadi miskin, bahkan yang miskin bisa jadi tambah miskin. Jakarta. Yang jelas kota itu menyimpan banyak cerita. Ingin rasanya aku membuktikan semuanya di kota itu, kota metropolitan yang menjadi sarang para koruptor. Tapi aku tak begitu peduli kata orang, yang ingin kulakukan adalah mengunjungi tempat-tempat bersejarah di negeriku.
Sampai akhirnya, tiba saat yang telah kurencanakan. Pukul 23.30 wib, aku seorang diri, melangkah menaiki sebuah kereta api kelas ekonomi, menembus malam yang lumayan dingin. Selama tak lebih dari lima jam, melalui lebih dari lima stasiun kereta api, mulai dari Kiaracondong hingga Jakarta Kota.
“Bangun Mba!” seru seorang anak kecil membangunkanku dari tidur yang tak begitu nyenyak.
“Nanti kebawa ke Daop!” lanjut anak berbaju kumal itu padaku yang masih mencoba menyesuaikan pandanganku ke sekelilingku yang sepi.
“Iyah!” sahutku menyadari bahwa semua penumpang kereta sudah turun di stasiun pemberhentian terakhir ini.
“Makasih ya!” ucapku pada bocah lelaki yang kini sedang sibuk memunguti sampah botol plastik yang banyak tercecer di kolong-kolong bangku kereta.
“Iya, sama-sama!” sahut bocah itu dengan logat Jakarta nya.
Ini pukul 04.00 wib, jantungku berdetak kencang, saat kakiku mulai melangkah memasuki peron di Stasiun Jakarta Kota. Sejenak tadi aku merasa senang dan gugup, karena ini adalah kali pertamaku melakukan perjalanan ke Jakarta seorang diri. Aku pun kembali teringat berbagai kata orang yang membuatku penasaran, tapi sepertinya ada beberapa kata orang yang tak begitu benar bagiku. Setidaknya aku mengingat bahwa masih ada anak kecil, yang tadi membangunkanku, menurutku itu luar biasa.
Suara adzan berbunyi. Dari bangku peron, aku melangkah menuju mushola, membersihkan diri, dan berdoa sejenak memohon keselamatan dari-Nya. Sebelum aku melanjutkan perjalananku berkeliling kota Jakarta, membuktikan berbagai kata orang, dan melihat hal unik yang mungkin akan kutemui di ibu kota.
“Museum di sebelah mana?” tanyaku pada petugas peron.
“Terus lurus ke depan! Tapi, belum buka jam segini!” jawab pria berseragam biru dongker itu.
“Iya, makasih!” sahutku pendek.
Goes to Monumen Nasional
Aku segera keluar dari area stasiun yang lumayan ramai itu. Tujuanku yang pertama memang museum, tapi sepagi ini memang belum buka. Jadi kuputuskan saja menuju Monas, saat kulihat sebuah halte busway yang jaraknya hanya beberapa meter dari stasiun. Dengan uang dua ribu lima ratus rupiah, aku bisa sampai di Monas dengan menggunakan bus Transjakarta yang pagi itu masih sepi.
Mengingat saat itu adalah hari minggu, halaman Monas sangat ramai oleh orang yang berlari pagi. Hmmm..., Monumen Nasional, apa yang kuingat mengenai monumen kebangggaan Indonesia itu yah?
Tapi yang aku ingat pasti, monumen ini dibangun oleh Ir.Soekarno, dan ada sebongkah emas di ujung menara itu. Kta orang, kalau kita ke Jakarta, rasanya kurang afdol kalau kita tidak pergi ke Monas. Ya..., kali ini aku setuju dengan kata orang itu.
Dengan ransel hijauku, aku berkeliling area Monas yang ramai. Kata seorang pedagang air mineral, setiap minggu tempat ini selalu ramai oleh para muda-mudi, keluarga, dan para pedagang yang menjajakan dagangannya untuk menemani pengunjung berolahraga, atau yang hanya sekedar cuci mata saja.
Selasa, 27 April 2010
Aku Mengeluhkanmu... Bukan Hanya Aku...
Birokrasi... Temanku menyebutnya begitu...
Yang jelas bagiku ini hanya formalitas... dan ucapan semata yang bisa dipungkiri...
Kata Mereka ini yang dinamakan ATURAN!!!
Mungkin ini kali kesekian aku dan beberapa temanku merasa kecewa dan dikecewakan oleh sebuah peraturan. Okelah kalau ada yang bilang peraturan ada untuk dilanggar!
Aku sepertinya mulai setuju dengan istilah itu, at least itu yang seharusnya kulakukan dari dulu..!
Bukan tanpa alasan, karena aku merasa kecewa dan dikecewakan oleh sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah sistem. Aku pikir aku layak menuntut hakku atas apa yang telah kulakukan, dan aku pikir mereka layak melaksanakan kewajiban mereka atas apa yang telah kulakukan. Bukannya malah melempar tanggungjawab mengenai hal yang sebenarnya sepele ini!!!
Okelah, aku enggan mengungkit apa hak yang layak kudapatkan, mungkin aku tak begitu patut dan pantas untuk menuntut ini. Tapi sayangnya, ini bukanlah kali pertamaku merasa kecewa (bukan hanya sekedar hak dan kewajiban) karena ini sudah menyangkut konsistensi.
Aku bukan manusia sempurna, tapi aku selalu berusaha agar tetap konsisten, aku bahkan pernah lalai dengan kewajibanku, dan aku pun berusaha untuk tidak ngotot menuntut hakku... Aku bersabar dengan konsekuensi yang kudapatkan...
Aku pikir aku cukup teliti, dan dapat bertindak sportif dengan lembaga ini. Tapi, ada sebagian kecil orang dari dalam sistem ini yang selalu saja tak bertindak konsisten dengan apa yang diucapkannya (mungkin aku dapat mengatakan bahwa dia adalah seorang manusia).
“Manusia itu tak luput dari kekeliruan!”
Oke!!!
Aku memahaminya, dan aku mencoba mengerti. Tapi apa jadinya kalau keluputan itu sering sekali terjadi (tak hanya sekali atau dua kali).
“Aku jadi berpikir, ini lupa atau dilupakan???”
Aku bilang begini dia bilang bukan, atau dia bilang tidak, atau dia bilang tidak begitu, dan beberapa kalimat elakan lain yang kadang membuatku terdiam dan menelan ludah sebelum akhirnya tersenyum tak percaya.
“Oh, iya gitu?” shit, itu salah satu kalimat yang pernah keluar dari bibir manisnya...
“Hello!!! Kamana wae atuh???” Jangan-jangan orang ini selalu kehilangan nyawanya saat mengucapkan suatu kalimat, jadi pas dikonfirmasi lagi dia tak akan pernah ingat dengan apa yang diucapkannya.
“Ada ya orang kayak gini, dan parahnya dilestarikan pula!”
“Lupa memang kadang menjadi alasan jitu seseorang untuk berlindung dari kewajiban dan tanggung jawabnya!”
Yaa... gimana lagi kalau orang udah berkata “LUPA”... I can’t do anything...
Sebenarnya aku hanya ingin satu hal dari bagian kecil sistem ini. Cobalah untuk konsisten dengan apa yang diucapkan, cobalah untuk bertanggungjawab dengan apa yang diucapkan... apa aku harus menyediakan alat perekam setiap kali aku berbicara padamu? Apa harus selalu ada saksi jika berbicara dengan orang ini.. Pasalnya bukan hanya aku yang merasa bahwa kau adalah makhluk yang tak konsisten dengan ucapanmu... BUKAN HANYA AKU...!!!
Dan untuk seorang yang kuhormati dan mungkin menganggapku sebagai seorang kawan, ‘Saya harap anda tidak akan pernah lagi mengambil alih kesalahan seseorang... itu mengecewakan sekali! Biarlah kesalahan itu menjadi miliknya bukannya diambil alih begitu, karna itu tak akan pernah melatih kinerjanya sebagai seorang pekerja!’.
Rabu, 14 April 2010
'Kenikmatan’ Korupsi Merajalela di Negeriku
Korupsi memiliki arti pembusukan... tapi, akan lebih layak jika korupsi disebut sebagai suatu hal busuk yang penuh kenikmatan. Apakah yang menguatkan anggapan ini?
Indonesia menempati posisi cukup mentereng dalam jajaran negara terkorup. Cukup membuat kita miris dan menelan ludah untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana tidak kalau dari sebuah data Indonesia memang berada dalam posisi sepuluh besar negara terkorup di dunia.
Tak heran, seperti halnya saja sekarang, rakyat di negeri ini sedang dibuat tercengang kembali dengan kasus korupsi. Korupsi, lagi-lagi korupsi...
Mengenai kasus korupsi yang memunculkan nama Gayus Tambunan ini, kalau boleh mengingat, betapa sering iklan layanan masyarakat menghimbau dan menanamkan dengan kuat bahwa ‘Orang bijak harus taat membayar pajak’, tapi apa jadinya kalau uang rakyat yang berasal dari pajak itu dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu dan menggunakannya untuk memperkaya diri mereka pribadi?
Masyarakat kecewa, mungkin begitulah sedikit gambaran akan perasaan rakyat di Indonesia. Kita menyadari bahwa masyarakat Indonesia saat ini, mayoritas masih berada dalam keadaan ekonomi menengah kebawah. Mereka tak mudah mencoba memenuhi kewajibannya dengan membayar pajak, mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan nilai (PPn), dan berbagai tetekbengek pajak yang ditetapkan dan dikeluarkan pemerintah.
Lepas dari itu, sebenarnya bibit korupsi di bumi ini mungkin sudah mendarah daging dan menjadi budaya yang tak dapat lepas dari sifat tamak manusia. Merasa tak pernah cukup akan suatu hal yang dimilikinya, merasa serba kurang meski sudah diberi kekayaan lebih, atau korupsi memang suatu hal biasa yang sudah menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak kalau korupsi ini memang layak disebut sebagai rahasia umum.
Saya berani menjamin, dalam sebuah instansi perusahaan baik yang kecil ataupun yang besar, pemerintah ataupun swasta, para pelaku perusahaan itu pasti tak pernah luput dari hal yang bernama ‘korupsi’. Jika tak mempunyai buktinya, coba saja tanyakan pada hati nurani masing-masing. Dan parahnya, sebuah tindakan korupsi ini pasti dilakukan secara beramai-ramai, layaknya suatu sistem jaringan yang saling mendukung. Setiap pihak yang terlibat memiliki perannya masing-masing yang berfungsi melancarkan suatu tindakan korupsi, dan setiap pihak itu juga akan mendapatkan bagiannya masing-masing. Ibaratnya hal seperti ini adalah suatu bentuk kerjasama yang negatif. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari hal yang tak diinginkan, misalnya jika ada pihak tertentu yang tidak puas dengan apa yang diterimanya, merasa kepepet, atau pihak tersebut memang masih memiliki sikap idealis yang tinggi. Maka ia akan membuka mulut, mengungkapkan tindakan-tindakan korupsi tersebut pada khalayak.
Kembali lagi pada contoh kasus Gayus Tambunan. Setelah Gayus ditangkap, maka bermunculanlah tersangka-tersangka berikutnya yang juga menerima ‘kenikmatan’ uang panas tersebut dan jelas berada dibalik kasus korupsi ini. Mulai dari petugas pajak, Jaksa, Hakim, bahkan Polisi pun ternyata ada yang terlibat dalam sistem jaringan korupsi ini. Meski akhirnya Gayus dinyatakan bebas, dan hal ini jelas menambah kecurigaan publik akan suatu kerjasama dalam tindakan korupsi yang melibatkan orang-orang penting yang enggan juga terseret dalam kubangan daftar tersangka.
Ya..., ini adalah rahasia umum. Apabila satu orang melakukan korupsi, maka untuk menutupi atau membuat tindakannya itu tetap berjalan mulus, maka mau tak mau dia harus rela berbagi ‘kenikmatan’ dengan pihak-pihak lain yang dapat menjadi ‘ancamannya’, dan begitulah seterusnya. Sebuah kerjasama yang layak mendapat acungan sepuluh jempol.
Setidaknya hal seperti ini sudah kita ketahui sejak terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan oleh Soeharto (Alm) semasa pemerintahannya. Banyak sekali pejabat yang turut terciprati ‘kenikmatan’ korupsi yang dilakukan oleh ‘Bapak Pembangunan’ ini, dan banyak sekali kesengsaraan rakyat yang dibuat oleh tindakan pemimpin orde baru yang fenomenal dengan alasan ‘sakit’nya jika hendak dilakukan pemerikasaan polisi atau sidang di pengadilan.
Meski saat ini pemeriksaan demi pemeriksaan terus dilakukan terhadap para tersangka kasus korupsi dan pencucian uang itu, tapi ujung-ujungnya mungkin kisah korupsi akan berakhir dengan hambar, dengan ending yang tak jelas, menggantung, bahkan tak ada penyelesaian yang tegas dan berarti. Karena hingga saat ini jarang sekali penyelesaian kasus korupsi yang memuaskan dapat khalayak, atau hal ini memang tak pernah menjadi konsusmi publik secara luas. Sehingga kasus-kasus besar itu menguap dengan sendirinya.
Bibit korupsi memang bertumbuh terlalu subur di negeri tercinta ini, sulit sekali menemukan keidealisan dalam diri seseorang. Mungkin boleh dibilang, selama darah manusia masih berwarnah merah dan mata manusia masih hijau dengan duit, maka ketamakan manusia akan terus bersemayam, akan terus berkembang dengan berbagai kecerdikannya yang melebihi kancil, atau loncatannya yang melebihi tupai. Sulit sekali memberantas hal ini hingga ke dasarnya, jika bukan karena kesadaran sendiri. Karena meski manusia sudah tahu bahwa korupsi adalah hal yang tak layak dilakukan dan memang tak seharusnya dilakuakan, tapi tetap saja hal itu penuh ‘kenikmatan’ yang membuat pelakunya ketagihan.
Help Me God...
Berpuitis
Senin, 15 Maret 2010
Keegoisanku Tentang CINTA...
